Mohon tunggu...
Adolfus Arung
Adolfus Arung Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang penghayal

Masih bujang dan mungkin tetap bujang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penghayal

5 Juni 2021   15:49 Diperbarui: 5 Juni 2021   15:49 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rintik hujan tak berirama dari seng kosan kecilku. Guntur membobardir seolah marah, di sore ini. Aku yang hanya seorang pengangguran langsung berangkat ke arah kamar kosku, yang hangat karena barang-barang lusuh dan teduh di bawah seng yang ala kadarnya.
Kuturunkan kasur, bersiap untuk beralih ke alam lain, tidur. Kasur , bantal dan selimut adalah cintaku saat ini.

Seperti biasa, sebelum tidur ada sebuah ritual yang lazim dilakukan orang dimana pun, menghayal. Menutup mata lalu membayangkan kristal di masa mendatang dan mencoba membuat cerita baru tentang masa lalu yang buruk adalah alurnya. Semua yang buruk tidak pernah terpikirkan saat ritual ini. Jangankan yang buruk, yang hapir buruk pun mustahil ada.

Di sela-sela ritual, entah kenapa dan bagaimana, seperti "serangan fajar" bayangan seseorang tiba-tiba muncul dalam benakku. Mataku tiba2 terbuka, senyumku spontan terpancar. Aku gila? Pikirku.

Wajah itu, kukenal beberapa waktu lalu di kos kosan milik saudaraku. Bagai purnama, wajah itu terang dalam katupan mataku yang gelap.
Bisa dibilang, Rona bibirnya murni buatan surga. Garis bibirnya meliuk dengan sempurna. Jiwaku dibuatnya terpesona.

Jagat seakan sirna, saat kubayangkan pancaran cahya matanya menembak ke arahku. Mataku yang tak lagi mampu menahan, membuat hatiku yang jadi sasarannya, malu.

Ahhh...itu baru dua.... Ku tutup lagi mataku, membayangkan elok betisnya yang menggempa saat langkah kakinya beranjak. Warna betisnya yang langsat semakin memikat hatiku yang bangsat.

Suaranya, huhhhh.... Jika kamu tahu suara yang teduh, itulah.

Sebenarnya, aku belum mengenalnya. Tak ada seinci pun keberanianku untuk menjabat tangannya sembari menanyakan namanya. Aku pengecut? yah....

Laki-laki sepertiku hanya mampu mengagumi dan sukar memiliki. Jangankan memiliki, memanggilnya saja aku tak berani. ( Ya iyalah berani gimana? Kan belum kenalan).

Tiba2, aku tertidur. Cestt cesttt, begitu kira2 bunyi air liur yang keluar tanpa sadar dan tanpa alasan sewaktuku tidur. Bantal menjadi korban utama dalam kasus ini (mandi air liur). Ini seperti kekerasan pada bantal, karena dimandikan secara paksa.

Malam pukul 7, aku terbangun. Kucoba mengingat-ingat kisah apa yang terjadi saat ku bermimpi tadi. Selain untuk kesenangan batin karena memimpikan dia, mimpi itu juga berfungsi sebagai sarana menuju kekayaan ( kupon putih).
Wkwkwk tak satu pun mimpi yang kuingat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun