Sampai disini ending kisah patriotis perjuangan di Pantai Waisisil. Tidak bisa dianggap remeh dari nilai sejarah. Sejak kekalahan Belandadi pantai Waisisil ini, timbul kepanikan di kalangan militer Belanda di Ambon bahkan sampai di Jakarta. Selanjutnya, rentetan tindakan pembalasan Belanda dengan berbagai strategi untuk merebut kembali Saparua. Belanda banyak belajar dari kekalahan Mayor Beetjes tadi.. Dengan susah payah akhirnnya beberapa bulan kemudian Belanda berhasil menguasai kembali Saparua. Melalui politik memecah belah, memanfaatkan salah satu kelompok yang berkhianat, Kapitan Pattimura bersama kawan-kawan berhasil di tangkap dan di bawa ke Ambon.
Pesona Sunrise
Jika ada pembaca baru memahami sejarah patriotis di pantai Waisisil, maka saya pun harus malu. Kisah sejarah tadi baru saya cari setelah kembali ke Jakarta. Saat itu....perhatian dan konsen saya lebih banyak mengejar pesona sunrise di pantai Waisisil.
Maka subuh dinihari sebelum pukul 5 WIT, Rudy sudah menjemput saya di hotel untuk mengantar ke sini. masih gelap. Beruntung saat itu langit cerah tidak berawan. Sudah terbayang akan mendapat sunrise nan cantik.
Di beberapa tempat yang pernah saya datangi selalu berusaha berburu sunrise atau sunset. Bagi saya ini adalah momen yang indah. Saya butuh keindahan itu supaya dapat menghadirkan tidak hanya rasa senang, tapi juga kebahagiaan.
Solo traveling ke Ambon dan Saparua bagi saya adalah trip “galau”. Nah lho....apa tuch maksudnya? Kalau boleh di bilang merupakan “broken heart trip” versi saya pribadi. Terbang jauh dari jakarta yang sebenarnya karena frustasi baru berpisah dengan seseorang yang mengisi hidup saya sekian tahun. Tidak sanggup terus-terus-an larut dalam kesedihan di Jakarta, maka saya harus segera move on. Salah satu cara agar bisa cepat proses move on adalah ke Ambon dan Saparua selama beberapa hari.
Kenapa memilih Ambon dan Saparua? Pernah terucap angan-angan melihat Ambon yang penuh pesona. Angan-angan yang nyaris terlupakan tadi muncul kembali saat galau. Hanya butuh persiapan beberapa hari. Kebetulan masih ada uang dan sisa cuti akhirnya sukses melarikan diri kesini.
Sayangnya karena sedang galau tadi, saya kurang bisa menyerap kisah sejarah di pantai Waisisil. Saya juga kurang perhatian jika dulunya pantai Waisisil pernah menjadi pelabuhan. Sebaliknya, menjadi terlena dengan menghibur diri saat menikmati momen yang ku tunggu. Di antar Ruddy menyusur pantai Waisisil yang kira-kira 4 kilometer. Sempat mampir juga di kampung nelayan kecil di daerah Paperu yang masih termasuk pantai Waisisil.
Benar...Saat mentari pagi muncul, kesedihan batin dapat terobati dengan pesona indah yang di pancarkan sang mentari. THANKS GOD...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H