Kami santap siang dan menunggu mulai pukul 1 siang WIB. Tadi kami mendarat sekitar pukul 12. Setelah sejam di dalam, barulah di ijinkan turun ke terminal. Menunggu yang tidak pasti sangatlah tidak mengasyikkan. Tapi lumayan lah di resto ini bisa duduk selonjor sambil ngemil, minum sepuasnya. Beberapa teman di medsos menganjurkan untuk jalan-jalan aja ke Jakarta. Opppsss…..ini bukan solusi yang baik. Tiba-tiba ada panggilan boarding giman. Ngga ada ampun bakal di tinggal. Urusan jadi panjang.
Berkali-kali kami menanyakan status keberangkatan JT 569. Mendapat info jam 4 bandara Adisutjipto di buka kembali. Berarti jam segitu kami bisa berangkat lagi.
Opppssss tunggu dulu. Jam 4 sore belum ada panggilan boarding. Beranjak dari resto JW Lounge ke gate 4, lagi-lagi menyaksikan pemandangan yang tidak asyik. Wajah-wajah penumpang “terlantar”, yang serba tidak pasti. Pasti itu penumpang JT 569.
Yang cukup menghibur bertemu dengan rekan fotografer senior yang juga sebagai pengajar fotografi, mas Gatot Soebroto. Sering mendengar nama beliau namun belum pernah ketemu. Rupanya dia satu pesawat sama-sama penumpang JT 569. Tahunya dia ada di pesawat yang sama, sebagai penumpang yang senasib, setelah curhat di medsos. Oalaaaaa…..senangnya bisa jumpa meski dalam kondisi seperti ini.
“569 belum ada info berangkat. Tungu saja”, sahut petugas airline
Tunggu sampai kapan?
“Tidak tahu…”, jawab petugas airline
Lho kenapa tidak mencara tahu? Kenapa jT 577 bisa terbang?
“Tunggu saja pak. Nanti akan di umumkan. Silahkan makan dulu”, jawab petugas airline menyerahkan sebungkus nasi kompensasi delay. Isi satu telur doang lalu sambil melonjor pergi.
Cuma dapat begini doang, lalu jawaban yang tidak memuaskan akhirnya membangkitkan emosi. Saya tidak butuh makan. Saya mampu beli. Saya butuh informasi jam berapa berangkat. Kalau tidak tahu kenapa tidak berusaha mencari tahu….!!!