Sekolah kedinasan identik dengan kekerasan? Ga semua kok. Coba tanyakan pada lulusan stan, ada ngga yang seperti itu. Ga ada lah, lha wong kita sekolahnya ga ada budaya seperti itu. Disiplin sih iya, kekerasan senior? Yang ada, malah senior dipalakin traktiran makan.
Aneh rasanya saat ada teman saya yang tanya, “itu ada siswa stip meninggal di bully senior gara-gara dinilai kurang hormat, kalian dulu ga di bully di stan?”. Huahaha, ngga! Kurang ajar sama senior, di kampus kami dulu, malah sering saya lakukan.
Itu dulu. Sekarang kampus itu sudah berubah sepertinya, jadi lebih disiplin, lebih tertib. Lebih hormat sama senior, yang sesungguhnya di dasar hati saya , sikap seperti itu memuakkan.
Saya sudah empat tahun ini, dapat tugas sebagai salah satu dari beberapa panitia daerah yang mengurusi diploma satu stan yang dititipkan di kantor kami. Tiga tahun pertama saya ikut mengawasi kedisiplinan mereka, dan hasilnya, kacau balau, hahaha. Sepertinya sifat saya yang tercampur berbagai filosofi aneh itu, ga efektif untuk mendisiplinkan orang. Saya lebih sering ga mau menghukum mahasiswa kalau bajunya acak-acakan, lha wong itu cuma pakaian, di pikiran saya, nanti juga pakai kafan kan matinya? Saya juga ga mau jadi pembina kalau mereka upacara bendera (karena beberapa pandangan saya tentang upacara), jadi ga bisa mengawasi langsung. Dan apakah mereka hormat pada saya sebagai seniornya dan sekretariat mereka? Ada sih yang hormat, tapi rata-rata..ya ngga lah! Huahaha..
Rata-rata manggilnya “mas”, ada juga yang “om”, malah ada yang manggil nama doang “dolf”, yah..begitulah. Saya marah? Ngga kok, malah senang. Orang pantas dihormati, kalau dia memang pantas, kan? Kalau dia tidak pantas, dan tidak dihormati, ga salah itu. Saya berpikiran begitu, biar orang tua, pejabat, presiden sekalipun, sama-sama manusia, silahkan dihormati kalau pantas. Dan kepantasan itu orang lain yang menentukan, bukan kita.
Kita bisanya memilih mau menjadi seperti apa, dan harusnya menerima konsekuensi pilihan kita itu. Lha saya milih jadi orang yang cengengesan, dan naif begitu kok, harus terima kalau ga ada yang hormat, huahaha (biarpun kadang-kadang sakit hati juga, manusiawi itu).
Itu, senior-senior STIP, mungkin maksudnya baik mendisiplinkan adik-adiknya. Saya ga tahu berapa persen maksud baiknya, dan seberapa persentase arogansinya, tapi pasti ada niat baik meski secuil kalau mereka masih manusia. Saya ga pengen menghakimi, karena itu biar saya cerita soal diri saya sendiri saja, setidaknya egois dan narsis lebih baik daripada menghakimi orang yang belum tentu lebih buruk darimu, udah gitu ga melakukan apapun yang bisa memperbaiki situasinya.
Dipukulin karena kurang respek.. Ah, enaknya dihormati apa sih sebenarnya? Kalau ada orang yang benar-benar hormat dan sopan padamu, berarti kamu ga dianggap temannya. Bener kan? Senior-senior itu mungkin ga dihormati karena mereka memang tidak pantas, ah..tapi mereka ga sadar. Mereka pengen penghormatan palsu, kasihan sekali manusia yang hidup seperti itu. Kasihan sekali, sekaligus nggilani, kalau kata orang jawa.
Saya lebih senang berusaha menjadikan orang jujur, daripada palsu seperti itu. Orang yang suka bersikap palsu, nantinya juga bakal menuntut kepalsuan dari orang lain di sekitar mereka. Dunia yang penuh topeng ini, kan mereka yang bikin.
Banyak mantan mahasiswa dari tiga tahun yang lalu, yang kurang ajar pada saya. Dan saya juga kurang ajar sih, karena saya lupa nama-nama mereka. Pelupa sih, manusiawi itu. Di mall di makassar, waktu saya sedang jalan-jalan, saya ditepok dari belakang, “wah..tambah gendut mas, gimana? Belum nikah juga?”. Saya terdiam, sambil mikir, “aduh, ini siapa namanya ya..?”
“Itu senior mereka ga sepenuhnya salah, biar dikerasin begitu, tapi mereka nantinya jadi dekat dolf, jadi korsa jiwanya, solid.. Ehm, tapi jangan keterlaluan sampai mati juga sih..”, kata teman saya.
Entahlah. Mungkin benar begitu. Saya sendiri berkali-kali dikomplain karena kelakuan saya selama tiga tahun kemarin, katanya lulusan sini ga disiplin, kurang ajar, hahaha. Akhirnya tahun ini teman saya yang mengawasi kedisiplinan mereka, dan sistemnya diperketat.
Sekarang, kalau telat satu detik saja masuk gerbang, lari lima putaran keliling komplek gedung kantor kami, lalu push up lima puluh kali. Kalau ga hormat saat ketemu pegawai, push up. Kalau ga ngasih salam, push up. Setiap hari ada apel pagi. Pakaian ga rapi? Uh, bakal dihabisi kamu, push up sampai lemes! Jalan harus baris. Dan masih banyak yang kita tingkatkan sanksi disiplinnya, tapi tanpa main pukul. Push up sama lari kan bagus, biar olahraga.
Lebih baik disiplinnya tentu saja, dan saya sangat berterimakasih kepada teman saya itu. Saya sendiri ga bisa, dan ga mau jadi seperti itu. Saya mau tetap pada prinsip saya. Tapi kalau kondisinya begitu, akhirnya terpaksa saya ikut membantu teman saya dengan tidak mengacaukan programnya. Akhirnya terpaksa akting marah kadang-kadang, lalu menghukum mereka kalau ga disiplin. Terpaksa menerima penghormatan berkali-kali sehari, dengan sikap tegap dan suara ga ikhlas “selamat pagi pak!”, yang sebenarnya terpaksa banget saya nerimanya.
Tapi ya terpaksa..
Hahaha, saya masih berpikir kalau hidup bakalan terlihat lebih menarik kalau sedikit “chaos” dan ga teratur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H