“Kan anjing mas..”, katanya sambil tersenyum manis.
Kegilaan kedua manusia. Kita bisa tidak menghargai kehidupan makhluk lain, kalau kita anggap mereka berbeda. Kenyataannya kata “kan anjing mas” tadi bisa juga diganti dengan “kan cina mas”, “kan agamanya beda mas”, “kan ga punya agama mas”, “kan kelainan seksual mas”, “kan dia bukan siapa-siapa kita mas”, dan lain-lain.
Yeah. Begitulah. Berita baiknya kalau pendapat saya benar adalah berarti para pelaku kekejaman terhadap sesama manusia itu mungkin ga jahat sebenarnya, mereka cuma kehilangan persepsi kalau yang mereka aniaya itu juga manusia seperti mereka. Mungkin di luar kekejaman mereka, mereka juga adalah ayah, suami, istri, kekasih, teman, atau bahkan tetangga yang ramah, baik hati dan punya senyum yang manis. Tentu saja semua itu hanya bagi yang mereka anggap sesamanya manusia.
Lucu kan bagaimana orang baik bisa sekejam itu?
Ga Dilarang Kok
Pada akhirnya, sebenarnya saya ingin menghimbau kepada teman-teman saya yang masih makan anjing. Jangan lah dilakukan lagi. Biarpun enak, tapi masak tega mau makan hewan seimut dan sesetia itu? Tapi sayangnya palingan ga ada yang mau mendengarkan himbauan berniat baik itu.
“Kita ga dilarang makan kok, ada ngga di kitab? Kan boleh makan apapun asal disyukuri.”
Percuma. Itu kegilaan manusia ketiga yang saya temukan. Kita tega melakukan sesuatu yang sebenarnya ga pantas, atau yang tega, asal ada pembenarannya. Dan pembenaran paling dasyat adalah pembenaran menurut kitab suci.
Ga dilarang di kitab suci aja, kita bisa ngotot melakukan sesuatu. Apalagi ada tertulis untuk melakukannya. Habis sudah hati nurani, habis sudah akal sehat, habis sudah keharusan berpikir panjang. Percuma mulut bicara.
Maka, sudahlah..
Makassar, 28 Mei 2016