Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Cinta Over Kredit, Habis Cinta Kontrak Kredit Pun Menggantung

24 Mei 2023   00:37 Diperbarui: 24 Mei 2023   07:22 1071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kartu kredit| Dok Thinkstock via Kompas.com

Just Sharing.....

Witing tresno jalaran soko kulino. Itulah yang terjadi antara Hadi (nama samaran) dengan Dea, sebut saja begitu namanya. 

Hadi seorang supervisor di sebuah perusahaan telekomunikasi yang produk kartu selulernya dipakai sebagai nomor handphone di sebagian besar pengguna Android. Tak usah disebut pembaca pasti bisa menebak tempat kerjanya. 

Pria berusia 28 tahun itu adalah salah seorang dari sekian banyak nasabah di kantor. Gajinya hampir tiga kali lipat untuk ukuran kota yang UMK tahun 2023-nya cuma 2,9 juta. Bujang mapan nih. 

Dengan status belum menikah tanpa tanggungan anak, dia sangat mampu untuk bayar cicilan i Phone 14 Pro Max sebesar Rp 1.580.000,-.R iwayat kreditnya nol hari alias tidak pernah telat.

Tapi itu delapan bulan terakhir. Memasuki bulan ke sembilan dan kesepuluh, tiba-tiba namanya masuk dalam daftar debitur menunggak. Tak tanggung-tanggung. Telat 68 hari. Itu berarti sudah dua kali tanggal jatuh tempo belum juga bayar. Ada apa dengan Hadi? 

Beraneka analisis mencuat. Mungkinkah si nasabah itu sudah resign dari kantornya sehingga saat ini sedang dalam kondisi mencari pekerjaan baru dan berdampak pada finansialnya. 

Atau kah si nasabah sakit sehingga sebagian dana teralihkan buat biaya pengobatan. Ada kemungkinan juga seperti tak sedikit nasabah yang kehilangan handphone sehingga lupa akan nomor kontrak kredit yang biasanya tersimpan di sana.

Ternyata Dea sang kekasih, adalah katalisator yang bikin Hadi enggan meneruskan pembayaran. Gawai bikinan Apple yang dikredit Hadi itu diberikan buat Dea yang juga adalah SPGnya di kantor. 

Foto tulisan di salah satu kendaraan pinggir jalan| Dokumentasi pribadi
Foto tulisan di salah satu kendaraan pinggir jalan| Dokumentasi pribadi

Cinta yang tumbuh lantaran sering bersama sudah sampai pada tahap lamaran. Bahkan atasan Hadi dan rekan-rekannya di kantor mendukung jalinan kisah asmara mereka. 

Dea hanyalah tenaga outsourcing sehingga tidak bermasalah bila mereka menikah karena beda perusahaan. Namun dua bulan jelang hari pernikahan, semua rencana indah itu jadi trauma bagi Hadi. 

Ibu Hadi menemukan Dea bersama seorang laki-laki yang bukan anaknya di sebuah hotel. Dia pun memberitahukan pada Hadi. Dan lebih miris lagi, pria yang berselingkuh dengan Dea itu adalah David (nama samaran) seorang marketing, juga bawahan Hadi di kantor. 

Puncak dari jalinan cinta ini adalah sebuah dilema bagi Hadi. Ketika keluarganya memutuskan batal menikahi Dea, bagaimana dengan angsuran iPhone yang atas nama Hadi. 

"Apakah aku harus bayar terus 1,5 juta setiap bulan untuk perempuan yang mengecewakan aku?" tanyanya ketika duduk bersama saya di sebuah kedai kopi di tengah kota. 

"Mengapa tak kau mintakan saja iPhone itu biar kamu yang pakai? Toh bisa dijual juga untuk menutupi sisa utang," kataku memberi solusi

Hadi bertutur bahwa barang kredit itu sudah dihadiahkan ke calon ibu mertuanya alias mamanya Dea. Tak elok diminta kembali. Hadi kemudian melimpahkan kelanjutan tanggung jawab cicilan ke Dea. 

Dilema berikutnya yang dirasakan Hadi adalah sulit untuk memberhentikan Dea sebagai SPG meski otoritas ada di Hadi sebagai atasan langsung. Lagi pula urusan asmara terpisah dengan urusan pekerjaan. 

"Lha kalo aku berhentikan dia, trus gimana dia bisa bayar cicilan itu? Dia kan perantau. Susah cari kerja zaman sekarang," katanya lagi. 

Ya iyah juga sih. Kontrak kredit atas nama Hadi. Sebagai SPG tentu beda jauh gajinya dengan supervisor. Pengalaman saya beberapa tahun mengelola SPG cukup mahfum gaji SPG tidaklah besar.

"Emang bisa Si Dea bayar 1,5 juta perbulan?" tanyaku lagi

"Nah itu dia Bang...Terpaksa aku juga mesti nalangin separouh biar ngga macet total. Karena aku ada rencana mau kredit rumah juga," ujarnya 

Olala....berat juga bos, kataku dalam hati sembari menyesap kopi hitam dari gelas kaca. Membiarkan empatiku bermain. Membayangkan bila berada di posisi dia. 

Wanita muda pelayan kafe yang tadi menyuguhkan bagi kami dua gelas kopi beserta dua potong brownies kukus, seperti merasakan apa yang dialami Hadi. Tanpa rasa bersalah dia memutar sebuah lagu lawas sendu milik Titik Puspa. 

Tapi kini apa terjadi
Segalanya kau tak peduli lagi
Dan yang lebih menghancurkan kalbu
Kau bercumbu di depanku......

Kejam oh kejam...pedih...oh pedih...Cinta o..o..o..oh...cinta..

Kisah Hadi di atas adalah salah satu contoh dari banyak cerita jalinan cinta para debitur yang berdampak pada kontrak kredit di perusahaan pembiayaan. 

Tidak seperti perbankan yang bisa mendebet langsung cicilan per bulan dari rekening tabungan, para nasabah multifinance lebih banyak diharuskan berinisiatif membayar sendiri. 

Dan keinginan untuk bertanggung jawab terhadap cicilan dasarnya dimulai dari hati. Ini bukan soal seberapa besar pendapatan seseorang, tapi seberapa besar rasa kepemilikan dari hati orang tersebut terhadap sesuatu yang dikredit olehnya.

Setidaknya ada tiga hal yang mempengaruhi: 

1. Kerelaan membayar berhubungan dengan kepentingan akan barang tersebut terhadap kehidupannya. 

Seorang debitur akan rela membayar bila dia sadar kegunaan barang tersebut bagi dirinya atau bagi orang-orang yang dikasihinya. Kami ada nasabah seorang ibu yang hanya jualan sayur di pasar menyisihkan 12 ribu sehari demi angsuran laptop 350 ribu per bulan yang dikredit untuk anaknya yang sudah SMU. 

Ada juga yang setia bayar angsuran mobil lantaran mobil itu dipakai buat bisnis penyewaan kendaraan. Manakala unit kredit memberi balas jasa terhadap pemiliknya, disitulah tanggung jawab menjadi nilai penting. 

Jadi adalah wajar bila Hadi pada contoh di atas dilema meneruskan cicilan karena tak punya lagi kepentingan terhadap iPhone itu. 

Atau contoh paling gampang adalah pada kasus kredit atas nama. Si nasabah tak mau bertanggung jawab karena hanya namanya yang dipinjamkan tapi pengguna unit kredit bukan dia. Masa bodoh jadinya!

2. Kerelaan membayar berhubungan dengan dampak yang akan terjadi dari tujuan jangka panjang. 

Beberapa nasabah datang ke kantor membawa BPKB mobil demi pinjaman dana puluhan juta. Ketika ditanya buat apa, ada yang bilang buat bayar anaknya yang mau masuk polisi. Yang lain untuk biaya kuliah anak. 

Manakala pihak pembiayaan memproses pengajuannya, harapan apakah yang ada dibenak si nasabah? Sudah pasti gambaran masa depan si anak. 

Hidup yang akan berubah. Status sosial yang meningkat. Itulah mengapa visi dan impian kerap jadi motivasi mengapa seorang nasabah bertahan hingga lunasi cicilannya. 

3. Kerelaan membayar berhubungan dengan karakter dan kestabilan finansial.

Riwayat cicilan yang lancar bisa menandakan dua hal. Pertama, si nasabah punya cash flow finansial baik. Kedua, karakter si nasabah yang menggambarkan nilai dan prinsip hidup. 

Andaikata karena satu dan lain hal kondisi finansial si nasabah oleng atau ambruk, paling tidak faktor internal kedua yang ada dalam diri si nasabah ini akan membuatnya terus bertahan sampai selesai. 

Apa yang harus dilakukan bila debitur mengalami kisah mirip-mirip Hadi? 

Realitanya bisa terjadi pada mereka yang sedang pacaran atau sudah menikah bertahun-tahun di mana salah satu pasangan adalah debitur aktif. Profesi bisa beragam. Demikian juga kapasitas finansialnya. 

Intinya manakala hati dilukai, segala sesuatu terkait kredit dan barang kredit yang ada hubungannya dengan seseorang yang dicintai, cenderung akan menghasilkan dilema. Parahnya akan terakumulasi jadi melepas tanggung jawab alias bahasa kerennya EGP (Emang Gue Pikirin). 

Teringat beberapa bulan lalu seorang istri menolak ditanyakan perihal suaminya yang menunggak di empat bulan terakhir. Padahal sebelumnya dia mengaku dialah yang dulunya kerap membayar setiap bulan. 

"Kami sedang proses cerai. Saya ngga ada urusan lagi dengan dia," katanya dengan nada marah. 

Satu pasangan yang lain kali ini ibu mertuanya yang curhat. Si menantu yang adalah si debitur, sudah senantiasa diingatkan namun tak jua sadar. Giliran suaminya yang biasanya menalangi, sudah tak niat lagi. 

"Mau diceraikan sama anak saya. Malas dia bayar-bayar terus," kata si ibu mertua. 

Persoalan cinta erat kaitannya dengan kestabilan emosi. Manakala seseorang kecewa dengan yang dikasihinya, yang muncul adalah berusaha menghindari dan tak ingin lagi berhubungan dengan orang tersebut. 

Akhirnya merembet pada tanggung jawab cicilan. Yang dulunya menganut peribahasa ringan sama dijinjing, berat sama dipikul kini menjadi ungkapan berat ringan silahkan pikul sendiri. 

Bila Anda adalah debitur yang namanya tercantum sebagai nasabah usahakanlah untuk tetap membayar meskipun Anda terluka atau kecewa. Hidup tidak berhenti dengan orang yang melukai Anda, karena portofolio kredit Anda yang baik akan bermanfaat di masa depan meski tak lagi bersama si mantan. 

Bila Anda juga adalah debitur yang bermasalah dengan pasangan, tetaplah menjaga riwayat kredit Anda. Apalagi bila barang atau jasa yang dikredit punya manfaat dan kepentingan di masa sekarang dan di masa depan untuk Anda atau demi orang-orang yang dikasihi. 

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun