Olala....berat juga bos, kataku dalam hati sembari menyesap kopi hitam dari gelas kaca. Membiarkan empatiku bermain. Membayangkan bila berada di posisi dia.Â
Wanita muda pelayan kafe yang tadi menyuguhkan bagi kami dua gelas kopi beserta dua potong brownies kukus, seperti merasakan apa yang dialami Hadi. Tanpa rasa bersalah dia memutar sebuah lagu lawas sendu milik Titik Puspa.Â
Tapi kini apa terjadi
Segalanya kau tak peduli lagi
Dan yang lebih menghancurkan kalbu
Kau bercumbu di depanku......
Kejam oh kejam...pedih...oh pedih...Cinta o..o..o..oh...cinta..
Kisah Hadi di atas adalah salah satu contoh dari banyak cerita jalinan cinta para debitur yang berdampak pada kontrak kredit di perusahaan pembiayaan.Â
Tidak seperti perbankan yang bisa mendebet langsung cicilan per bulan dari rekening tabungan, para nasabah multifinance lebih banyak diharuskan berinisiatif membayar sendiri.Â
Dan keinginan untuk bertanggung jawab terhadap cicilan dasarnya dimulai dari hati. Ini bukan soal seberapa besar pendapatan seseorang, tapi seberapa besar rasa kepemilikan dari hati orang tersebut terhadap sesuatu yang dikredit olehnya.
Setidaknya ada tiga hal yang mempengaruhi:Â
1. Kerelaan membayar berhubungan dengan kepentingan akan barang tersebut terhadap kehidupannya.Â
Seorang debitur akan rela membayar bila dia sadar kegunaan barang tersebut bagi dirinya atau bagi orang-orang yang dikasihinya. Kami ada nasabah seorang ibu yang hanya jualan sayur di pasar menyisihkan 12 ribu sehari demi angsuran laptop 350 ribu per bulan yang dikredit untuk anaknya yang sudah SMU.Â
Ada juga yang setia bayar angsuran mobil lantaran mobil itu dipakai buat bisnis penyewaan kendaraan. Manakala unit kredit memberi balas jasa terhadap pemiliknya, disitulah tanggung jawab menjadi nilai penting.Â
Jadi adalah wajar bila Hadi pada contoh di atas dilema meneruskan cicilan karena tak punya lagi kepentingan terhadap iPhone itu.Â