Just Sharing....
Pagi tadi membaca sebuah curhatan seorang nasabah. Dia menulis di sebuah media online khusus konsumen. Apa yang diutarakan oleh beliau sudah pernah juga dialami oleh nasabah lain meski bank dan perusahaan asuransi berbeda.Â
Singkatnya sejak pertengahan 2016, beliau ikut asuransi tabungan pendidikan anak dengan premi 500 ribu per bulan. Jumlah premi yang didebet sebesar nominal ini memang kisaran rata-rata yang diprogramkan bank BUMN atau bank swasta di tanah air, ada juga sih yang lebih rendah mulai 100 ribu per bulan.Â
Setelah lima tahun lewat sekian bulan, di akhir Januari 2022 lalu, beliau mengecek lewat akun investasinya tercantum Rp 21.392.000.Â
Menurut logika beliau, setelah 69 bulan didebet terus-menerus jumlah seharusnya 34 juta, bukan tekor Rp 12.608.000,-. Lalu ke mana hilangnya?Â
Well, apakah pihak bancassurance yang harus disalahkan? Ataukah nasabah yang mesti disalahkan karena tidak membaca baik- baik ketentuannya sebelum tanda tangan kepesertaan? Ataukah perusahaan asuransinya yang dianggap mengambil keuntungan dari kondisi yang ada?Â
Biar netral dan tidak memihak, ada baiknya melihat dari semua sisi. Sebuah produk jasa keuangan yang terkait dengan investasi dan juga proteksi memiliki dua sisi ibarat uang koin.Â
Mau ikut yang mana calon nasabah akan dibenturkan dengan dua sisi tersebut, yakni aset dan resiko.
Kita mengenal ada obligasi, saham, properti dan tanah, logam mulia, dan juga reksadana. Siapapun yang berinvestasi pada aset-aset ini tentunya ada kelebihan dan kelemahannya.Â
Lima hal penting yang sebaiknya dipahami sebelum ikut asuransi:
Pertama, bertanya pada diri sendiri apakah asuransi penting. Seandainya tak penting-penting amat, bagaimana bila terjadi "sesuatu" terhadap diri saya. Sesuatu yang dimaksud di sini ialah resiko-resiko ini bisa sakit parah, meninggal dunia, dan lain-lainnya.Â