Just Sharing....
Terkenang masa bocah, ada tetangga di komplek perumahan orang tua dulu punya kios kecil. Ngga hanya satu rumah, tapi ada juga beberapa rumah lain yang area depan rumahnya dijadikan warung kecil menjual bahan kelontong meski jumlahnya terbatas.Â
Para istri atau anak-anaknya memanfaatkan area rumah dan halaman depan sebagai lapak jualan minimalis.Â
Dagangan mulai dari kopi sachetan, teh, gula, sabun mandi, sabun cuci, makanan dan minuman anak-anak dan sejumlah kebutuhan lain termasuk menjajakan jajanan buatan sendiri dan es mambo yang dulunya populer.Â
Kesanalah kami kadang berbelanja, walaupun sebagian besar pemilik rumah adalah pegawai negeri.Â
Status pemukiman yang bukan perumahan dinas tapi perumahan pegawai yang dikredit dan dipotong setiap bulan dari gaji, tentu tidaklah salah jika membuka kios di rumah sendiri, demi bisnis kecil-kecilan.
Ketika sudah kuliah dan pindah provinsi, saya ngekost di rumah warga yang notabene berada di pemukiman heterogen.Â
Kios tetangga dengan beragam profesi, mulai kelas bawah hingga kelas menengah dikelola sendiri banyak dijumpai. Stok terbatas tak seperti di swalayan, kadang ada namun kadang juga habis.Â
Kesamaan dari zaman dulu hingga zaman sekarang bisa jadi adalah unit usaha kecil semacam kios tetangga mudah dijumpai di mana saja.Â
Sang anak bisa meneruskan usaha yang dulu dirintis orang tuanya atau bisa saja berinisiatif memulai sendiri. Yang berbeda kompetitornya bukan lagi kios sembako milik tetangga lain, tapi ritel modern semacam Alfamart dan Indomaret. Cerdasnya kedua waralaba ini tak mengkotak-kotakan level profesi konsumen alias semua disasar.Â
Entah itu kawasan perumahan homogen semacam perumahan pegawai atau pemukiman elit. Mereka bisa saja mendirikan gerainya tak jauh dari sana (kawasan kelas bawah), namun pemukiman heterogen disasar juga. Apalagi di kabupaten kecil atau pelosok belum ada swalayan besar.Â