2. Kredit atas nama dengan uang muka (DP) dari pelaku.Â
Pelaku meminta tolong orang lain yang dipercaya untuk mengajukan kredit dan dia menyiapkan dana. Pelaku tak ingin beli secara tunai demi menghindari kecurigaan pencucian uang dari pihak pembiayaan.Â
Bila orang yang dimintai tolong itu berasal dari golongan menengah ke bawah dan unit yang hendak dikredit nilainya ratusan juta, tentu pihak pembiayaan akan penasaran juga mengapa uang DP-nya gede.Â
Pekerjaan dan profil usahanya segitu, dari sumber mana tiba-tiba punya banyak uang muka. Pelaku yang sadar akan hal itu, biasanya hanya akan memberi dana seminimal yang disyaratkan perusahaan pembiayaan.Â
Misal bila harga unit 300 juta, kisaran DP minimal 20% pelaku hanya menyediakan kurang lebuh 60 juta. Setelah disetujui dan kontraknya jalan ada dua kemungkinan yang akan dilakukan pelaku.Â
Pertama, melunasi semuanya sebelum angsuran ke 6. Ini karena di awal dananya memang sudah tersedia.Â
BPKB akan keluar dan jadi milik pelaku meski atas nama orang yang dipinjamkan namanya. Sudah pasti siapapun yang dipinjamkan namanya, juga mendapat keuntungan tertentu dari si pelaku.Â
Kedua, membiarkan angsuran berjalan hingga akhir tenor. Jadi tak dilunasi namun setiap bulan pelaku mengirim dana ke nasabah atas nama tersebut untuk dibayarkan.Â
Bisa juga pelaku yang membayarkan sendiri lewat ATM atau lewat kasir karena sudah mengetahui nomor kontrak dan atas nama siapa.Â
Tapi kalo gini caranya, bukankah pelaku juga rugi karena ada tambahan bunga kredit? Biasanya sudah diperhitungjan oleh pelaku dari dana hasil korupsi yang dimiliki. Yang penting tak ketahuan adalah tujuan yang disasar.Â
3. Jaminkan aset hasil korupsi dan sengaja tak membayar lalu biarkan disita atau ditarik.Â