Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Pekerja Muda dan Tren Generasi Sandwich, Mengapa Perlu Proteksi Asuransi?

2 September 2021   14:17 Diperbarui: 3 September 2021   08:15 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi melindungi keluarga dengan proteksi asuransi. Sumber: Thinkstock/Ridofranz via Kompas.com

Di balik pengorbanan atas nama pengabdian sebagai anak, Generasi Sandwich menyisakan bom waktu di kehidupan mereka di masa depan.

---

Just Sharing....

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan kisah nyata sepasang tetangga. Seorang Ibu usia 44 tahun. Punya suami berusia 50 tahun. 

Istri bekerja sebagai PNS, suaminya seorang operator alat berat perusahaan konstruksi. Mereka punya dua orang anak yang sudah remaja. 

Dari pekerjaan pasangan ini, bisa diprediksi berapa total penghasilan. Berdasar pengalaman kala memeriksa dokumen penghasilan pengajuan kredit, taruhlah minimal gaji istri 3 juta per bulan. Pasangan antara 5 juta hingga 10 juta menyesuaikan skala proyek. 

Relatif cukup untuk kebutuhan dasar satu keluarga di kota kecil. Namun dari curhatan dan bercandaan saking dekat dan akrab, mereka katakan belum memadai. Mereka hanya menabung malas ikut proteksi asuransi, kecuali BPJS doang. 

Terkadang mesti meminjam lagi. Gali lubang tutup lubang. Pengakuan tersebut bikin penasaran. 

Akhirnya terkuak. Sang istri berkisah apa adanya perihal pengabdian yang  dilakukan dirinya untuk kedua orang tuanya sebagai penganut Generasi Sandwich. 

Jauh sebelum berumah tangga, 15 tahun silam kala masih muda 29 tahun, Papanya di diagnosa Kanker. 

Demi pengobatan, sebagai anak dia rela meminjam hingga 200 juta dengan jaminan SK PNS-nya di sebuah Bank Daerah. Cicilan dipotong gaji selama 15 tahun. 

Malang tak dapat ditolak. Sang Papa akhirnya berpulang, meski dirinya sedih namun bangga. Sudah berjuang dengan doa, dana dan usaha. 

Dia contoh pelaku Generasi Sandwich. Tren generasi dari jaman ke jaman dimana anak-anak mesti membiayai finansial orang tua di hari tua, baik dalam kondisi sehat maupun sakit. Bahkan hingga berkeluarga, masih ikut membiayai Sang Ibu di hari tua.

Ketemulah akar persoalan finansial mereka mengapa selalu dirasa ngga cukup.  Gaji istri terpotong sebagian besar buat cicilan kredit di bank yang masih berjalan. Satu-satunya sumber hanya bersandar pada suami. 

Namun kabar duka datang lagi di akhir tahun 2020 lalu. Suaminya meninggal terkena sindrom penyakit metabolik. 

Seluruh tabungan puluhan juta habis demi perawatan di rumah sakit dan pengobatan di rumah pasca opname. Habis-habisan. Sebagai orang yang dekat, saya menyaksikan sendiri. 

Dia curhat sulitnya bertahan selama suami sakit otomatis tak ada pemasukan lagi hampir setahun. Ditambah sulit meminjam pada orang lain karena yang lain pun sedang bertahan hidup di masa Covid. 

Demi menyambung hidup, digadaikanlah tak sampai 5 jutaan sebuah motor pribadi.

Uang cadangan didapat, namun karena tak ada lagi kendaraan lain, akhirnya keluar ongkos lebih ojek ke sana ke mari, hingga meminjam sepeda motor orang lain. 

Kualitas hidup menurun hingga kami (saya dan tetangga lain) turut membantu ala kadarnya. Termasuk sampai prosesi pemakaman dan ibadah penguburan secara keyakinan mereka. 

Apa yang bisa dipelajari dari kisah sahabat saya ini? Tentu ada banyak kisah lain di luar sana yang lebih tragis dan miris. Tapi lantaran menjadi saksi kehidupan mereka, saya jadi lebih paham. 

Sadar akan risiko di masa depan pada pekerja dan profesional muda yang dalam tanda petik "berdarah-darah" bagi orang tua di masa produktif bekerja. 

Di balik pengorbanan atas nama pengabdian sebagai anak, Generasi Sandwich menyisakan bom waktu di kehidupan mereka di masa depan. Kurang lebih seperti yang dialami sepasang tetangga ini. 

Sumber: ymaws.com
Sumber: ymaws.com

Mengapa proteksi di masa produktif pada usia muda mengurangi Sindrom Generasi Sandwich dan kesulitan finansial di masa depan?

Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, yang pernah dimuat di Kompasiana (ada di referensi), saya juga baru ikutan program asuransi proteksi sejak tahun 2012. 

Sebenarnya keikutsertaan itu sebagai pentuk "pemaksaan secara halus" dalam tanda petik lantaran konsekuensi sebagai karyawan internal. Mau tidak mau harus. 

Baca juga: Mengenal Pentingnya Asuransi untuk Kendaraan Anda

Hasilnya ada teman-teman yang cuma 1 bulan 2 bulan ikut, setelah itu sengaja tak menyisahkan saldo di tabungannya agar tak didebet lagi. 

Mungkin salah satu faktornya, kami tak diedukasi secara mendalam soal benefit, konsekuensi, proses klaim, underwriting, dan lain sebagainya. Dan bisa jadi, kami belum menemukan contoh nyata benefitnya asuransi pada hidup orang lain.  

Selain itu, di tahun segitu, kami di kantor juga ndak wajib jualan produk asuransi. Beda manajemen, beda divisi. Sebagai pekerja muda, masih pola pikir ngapain sih asuransian. Emang mau mati atau meninggal lebih cepat ya. Hehe. 

Baca juga : Sudah Dapat Kerja atau Buka Usaha, Tak Salah Pertimbangkan Tabungan Plus Asuransi

Tapi akhirnya di tahun 2016, seiring kebutuhan debitur, produk proteksi perlindungan disosialisasikan. 

Perusahaan pembiayaan di sektor jasa keuangan juga mesti menawarkan asuransi, baik asuransi jiwa, asuransi kendaraan dan asuransi kesehatan. 

Dari sinilah makin teredukasi. Saya pun memperpanjang asuransi hingga 10 tahun ke depan. Apalagi dengan kejadian menimpa tetangga dari kisah di atas.

Andai di masa sehat dan produktif, mereka sudah terdaftar sebagai nasabah asuransi dengan premi 2 jutaan per tahun atau 300 ribuan per bulan, rasanya ngga berat bagi suami istri ini dengan total penghasilan dari profesinya. 

Mungkin tak akan sampai gadai motor, lego perhiasan. Bahkan sekalipun ludes tabungan, bisa terisi kembali jauh lebih banyak dari klaim pencairannya. Anak-anaknya juga bisa ada bekal biaya meneruskan pendidikan.  

Baca Juga: Bunga Deposito Dana Darurat buat Bayar Asuransi, Serasa Uang Tak Pernah Keluar

Bila Anda adalah pekerja muda dengan usia 20 tahun hingga 45 tahun, ini adalah sejumlah keuntungan ikut asuransi proteksi kehidupan 

1. Bisa pilih premi paling kecil paling murah. 

Umumnya makin bertambah usia, makin besar premi. Dengan usia muda, Anda diuntungkan. Apalagi bila premi itu flat (sama) sepanjang 10 tahun ato 20 tahun ke depan. Anda cukup mengangsur segitu sepanjang dekade.

2. Bila pekerja muda itu masih single (bujang atau lajang), bisa dialihkan ke nama anak bila sudah menikah dengan premi tetap segitu. 

Ini dulunya saya tak kepikiran sampe ke sana. Tapi setelah tau, ternyata inilah untung nya ikut waktu masih single. 

Sudah dapat premi murah, meski sedang jalan, bisa dialihkan dari sebelumnya ahli waris ke sodara ato orang tua, setelah menikah bisa ke pasangan ato ke buah hati. Hubungi saja pihak perusahaan asuransinya, dan ajukan perubahan ahli waris. Bisa kok. 

3. Boleh asuransikan orangtua, Anda yang bayar.

Bila orang tua masih dalam kondisi sehat, mengapa para pekerja muda yang sudah bekerja dan punya penghasilan tak membayar buat orang tua sebagai nasabah asuransi? Anggap saja ini bagian dari pengabdian dan cinta Anda pada orang tua. 

Ketika usia mereka bertambah, kondisi kesehatan menurun. Mereka bisa ditalangin dengan fasilitas asuransi yang Anda bayar, bahkan maaf, bila sampai berpulang pun, ada klaim yang bisa diterima keluarga. 

Rasanya ini bisa dipertimbangkan dibanding pekerja muda menjadi Generasi Sandwich bagi orang tua, yang bisa mengganggu pengeluaran dan penghasilan mereka, terlebih bila sudah berumah tangga. 

Andai dikasi umur panjang, anggap saja UP (Uang Pertanggungan) itu menjadi bekal hidup mandiri mereka di usia 70 an, 80 an hingga 90 an nanti. Polis itu bisa sebagai hadiah anak buat orang tua. 

4. Memproteksi kehidupan sendiri. 

Pemerintah tetap melegalisasi perusahaan asuransi sebagai bagian dari sektor jasa keuangan, karena salah satu fungsinya membantu pemerintah dalam pengelolaan keuangan masyarakat. 

Kondisi faktual yang ada, tak semua warga bisa menjadi PNS dan dijamin kepensiunannya. Itu pengeluaran negara yang mesti dialokasi juga, kendati harus dikoreksi setiap tahun. Bagaimana  dengan warga lain yang berprofesi di luar PNS, TNI dan Polri? 

BPJS bisa sebagai asuransi kesehatan bagi semua, meski terbatas pada layanan dan kriteria penyakit tertentu. Pada skala masyarakat luas, diharapkan mampu dan mandiri mengelola sumber keuangan dan aset yang dimiliki. 

Produk asuransi , entah di bawah perbankan ato berafiliasi dengan lembaga pembiayaan lain, hanya salah satu dari sektor yang diawasi pemerintah demi memberi salah satu pilihan pada warga untuk proteksi terhadap resiko kehidupan. 

Salam,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun