Mungkin sejak tragedi 22 tahun silam inilah warga merasa punya potensi bersuara. Termasuk mengkritik pemerintah secara spontan.Â
Jarang sekali itu bisa terjadi di masa orde baru. Ada terkisah istilah Petrus (Penembak Misterius) hingga tiba-tiba menghilang keberadaaanya dan tak diketahui hingga sekarang. Itu katanya konsekuensi bila mencoba bertentangan dengan penguasa.Â
Namun pasca reformasi, gerbang itu runtuh. Kebebasan berpendapat dibuka, bahkan makin ke sini, makin "liar tajam" dalam tanda petik. Antar anggota dewan, antar warga berbeda pendukung, antar bekas menteri dengan para pejabat, hingga para emak-emak pun ikutan update status kritikan.Â
Melihat kebebasan berekspresi saat ini, tak lepas dari keran keterbukaan pasca reformasi. Lantas dari mana warga belajar mengkritik pemerintah, legislatif hingga menyindir dan membully sesama warga? Bisa jadi dari media sosial dan media online.Â
Mirisnya, warga tak pernah diajarkan seni untuk mengkritik dan seni untuk menghadapi kritikan. Padahal setiap hari mereka terpapar dengan medos yang saling menghujat, saling menyalahkan, saling mencari siapa paling benar dan siapa paling layak.Â
Jadi bicara mural yang mengkritik pemerintah, lalu kemudian mural itu dihapus atau di lenyapkan, lebih baiknya mungkin pemerintah lebih menertibkan  "mural medsos" yang lebih merusak dan tak ada habisnya. Karena disanalah warga belajar secara otodidak.Â
Salam,Â
Referensi :Â
1. Kumparan.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H