Dengan bekal keaktifan di Majalah Kampus, ditambah sedikit bisa bahasa inggris dan komputer, dan pengalaman berorganisasi, menjadi dokumen pelengkap lamaran ke sebuah perusahaan lokal di Bali.Â
Beliau senang ketika saya mengabari  bahwa sudah kerja, meski gajinya masih kecil.Â
Bahkan lebih terharu lagi manakala saya membelikan selimut bed cover bercorak Bali sebagai hadiah ulang tahunnya kala itu,dengan penghasilan bekerja di perusahaan pertama itu.Â
Hal paling berat bagi Mama, adalah ketika saya mengutarakan bahwa saya memilih untuk tak jadi PNS meski sudah bergelar sarjana.Â
Itu berarti saya tak pulang ke kampung halaman, tapi akan tetap di Bali atau bekerja di daerah  lain.Â
"Kamu tau bagaimana hidup sebagai PNS. Mama tidak paksa, pilihlah yang terbaik bagi hidupmu," demikian pesan Beliau.Â
Meski keluarga besar lain, kurang setuju dengan pilihan saya, apalagi sejak kuliah, saya sudah di plot sebagai calon PNS di daerah setelah tamat, karena ikatan tunjangan pendidikan dengan tujuan tersebut.Â
"Banyak yang mau jadi PNS...Sayang sekali Ade sudah punya jatah, tapi Ade lepaskan..." demikian kata keluarga besar.Â
Itu adalah keputusan berat dan sulit. Melepaskan  kesempatan  itu dan memilih untuk bekerja di perusahaan swasta.Â
Karena sudah melepas yang terbaik di mata orang lain, saya harus mendapatkan yang jauh lebih baik atau sama baiknya sebagai gantinya. Dan saya bersyukur untuk itu dan semua proses yang dilewati.Â
"Kalo kamu jadi PNS, hidupmu tidak akan jauh bedanya dengan kehidupan Mama Papa dulu. Cuman beda dekade, beda generasi." begitu pesan Mama.Â
PNS tahun 70 dan 80-an, dibuatkan perumahan oleh pemerintah, dibayar dari gaji yang dipotong setiap bulan.Â