1. Tak (murni) keluar modal di awal
Kata orang sih begitu, cuman sebenarnya "abu-abu" juga. Maksudnya adalah membuat dari bahan mentah jadi produk yang bisa dikonsumsi atau dijual memang butuh biaya banyak. Tapi memasarkan dan memajangnya, juga perlu pengawasan intens karena bukan barang sendiri. Â
2. Produk titipan yang juga dikonsumsi sendiri, bisa dapat lebih murah
Ada sistem titip sederhana dan tradisional semacam ini di masyarakat, di mana barang yang dititip, juga dipakai atau dikonsumsi oleh si pemasar.Â
Sudah pasti keuntungan bisa dikasih lebih dikit bayarnya dibanding pembeli lain. Tapi ada bahayanya juga yang mana kadang malah saking kepengennya, sebagian besar yang dititip malah lebih banyak dipakai sama pemasarnya. Misalnya titip produk camilan, semacam rempeyek, krupuk, dan lainnya...hehe.Â
3. Memanfaatkan jaringan dan kapasitas yang dimilikiÂ
Bila si penitip punya banyak channel atau jaringan semacam pertemanan dan komunitas, tentu ini bisa jadi ladang dan lahan pemasaran.Â
Belum lagi bila kapasitas dan ruang properti di tempat si pemasar juga mendukung, rasanya tak salah juga dicoba.Â
Cuman itu ya bund....tetap diawasi dan dikontrol terkait tanggung jawab. Sama jangan lupa, hitung-hitungan cuannya juga.Â
Meski pengawasan, tenaga dan fokus itu bukan komponen fisik uang, tapi semuanya ada konversi ke biaya juga, jadi berhitunglah secara bijak.
Alangkah baiknya juga, bila perlu, membuat hitam di atas putih. Menyesuaikan dengan skala usaha. Tujuannya agar sama-sama menguntungkan, Bukan satu pihak saja.Â
Cuman kesulitannya ya pada pekerja kelas pasar tradisional, butuh edukasi ekstra tuk membiasakan. Mereka rasanya sudah pakem dengan pola kepercayaan "ambil aja dulu, nanti mau bayar"
Hehe...
Salam,Â