Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Sriwijaya Air Jatuh dan Terkenang 4 Pengalaman 'Seru' Naik Pesawat

13 Januari 2021   19:03 Diperbarui: 16 Januari 2021   19:29 1238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Just Sharing....

Saya mengetahui sedikit  mengenai bandara dan pesawat karena sempat belajar meski tak mendetail. Jadi dulu ada mata kuliah Teknik Bandar Udara. Dari sanalah saya mengenal apa itu apron, taxiway, runway,lebar bentang sayap, angin samping hingga perencanaan tebal perkerasan landasan. 

Setelah tamat dan tak lagi bekerja di bidang yang berhubungan dengan itu, jujur saya tak ingat banyak. Meski demikian ada perkatan dari dosen pengajar yang selalu terngiang.  

Salah satu yang paling berbahaya dari pesawat itu adalah saat hendak take off dan saat hendak landing. Itu ucapan beliau yang kini telah berpulang setahun lalu. Pak Dosen, yang setahu saya di jaman itu, beliau juga adalah salah satu konsultan yang menangani Bandara Ngurah Rai.Dia lalu mencontohkan beberapa kasus kecelakaan pesawat, baik di dalam maupun di luar negeri. 

Meski itu sudah lama, namun perkataan itu selalu membayangi manakala menumpang pesawat. Saya semakin menyadari mengapa ada istilah Critical Eleven, yakni momen kritis pada 3 menit setelah take off dan 8 menit sebelum mendarat. 

Mungkin ini salah satu alasan awak kabin meminta penumpang mengencangkan ikat  pinggang saat  pesawat melaju kencang di runway tuk lepas landas.Bahkan setelah terangkat pun, jangan dulu dilepas sebelum ada isyarat dari pramugari. Demikian juga saat burung besi itu hendak mendarat, penumpang diminta kembali mengencangkan sabuk. 

Kaitannya dengan topik pilihan kali ini dan dari pengalaman sendiri seberapa kali menumpang pesawat, saya terkesan 4 pengalaman seru yang cukup sedikit traumatis. Mungkin lebih kerasa  karena saya juga akrofobia atau fobia ketinggian.  

1. Pengalaman pertama 2013, terguncang keras dalam penerbangan Timika-Denpasar. 

Beberapa kali terbang ke kawasan Indonesia Timur sepertinya sudah hapal di atas langit mana biasanya pesawat akan berguncang. Peralihan dari Papua ke Maluku menurut saya paling sering di obok-obok. Sedikit berguncang itu lumrah, namun dibayangi ketakutan manakala guncangannya keras,berulang dalam durasi yang lama.  

Lalu tiba-tiba pramugari mondar mandir, dan lampu dimatikan. Semua penumpang mendadak diam dan saling pandang. Padahal tadi naik pesawat, kesan  cuek aja di samping kiri kanan, depan belakang. 

"Mohon maaf, pesawat sedang mengalami turbulensi, tolong semua penumpang di tempat duduk dan mengencangkan sabuk," kata pramugarinya. 

Beberapa anak balita yang ikut bersama orang tuanya mulai tak tenang dan menangis. Mungkin mereka juga merasakan kondisi di dalam kabin.Awak pesawat segera menenangkan mereka bersama ibu bapaknya. 

Hampir 1 jam goncangan keras, kadang hilang kadang muncul. Menakutkan juga, saya cuma berdoa dalam hati. Semoga baik -baik saja karena untuk sampai ke tujuan itu 3 jam penerbangan tanpa transit. Cukup lama dan cukup mengkuatirkan hingga pesawat mendarat. 

2. Pengalaman kedua, 2016, penerbangan Lombok-Sumbawa, pesawat sudah ancang-ancang lepas landas di runway, eh balik lagi ke parkiran. 

Runway itu untuk take off dan landing. Jadi logikanya bila pintu pesawat sudah ditutup dan bergerak dari jalur parkiran (apron) menuju runway, penumpang taunya pesawat akan cuzz mengangkasa. 

Ternyata hanya diam. Ibarat aba-aba mau siap gerak, tapi ngga gerak -gerak juga. Lama ada sekitar 20 menitan dan ruang dalam pesawat sudah makin panas. Penumpang sudah tak tenang. Saling memandang.

Akhirnya balik ke apron. Kami para penumpang mendesak pramugari agar pintu pesawat dibuka lantaran hawa panas di dalam kabin . Mereka pun bersedia membuka dan meminta semua agar bersabar. 

Ketika ditanya apa masalahnya, mereka tak menjelaskan. Hanya mohon sabar aja dan jangan ada yang turun. Mereka tak menjamin akan berapa lama selesai, tapi diusahakan secepatnya. 

Saya sudah kepikiran yang aneh-aneh. Ternyata beberapa penumpang juga sama. Akhirnya sejumlah penumpang, termasuk saya, membatalkan berangkat. Kami minta turun, meski dihalangi oleh awak. Bahkan refund tiket hanya bisa balik 10  persen. 

Ya sudahlah, rasanya lebih baik kami menumpang travel meski 6 jam perjalanan daripada yang cuma 30 menit tapi bertaruh dengan kondisi pesawat. Kemarin sore pesawat ini juga gagal terbang lantaran faktor cuaca. Terus sekarang pagi ini juga dengan alasan yang tak dijelaskan sama awak nya. Sudah kemana-mana dah mikirnya.

Ternyata besok harinya, salah satu nasabah di kantor yang kebetulan juga penumpang pesawat, menjelaskan bahwa kegagalan itu karena ada bagian dari pesawat yang bisa menyebabkan pesawat tak bisa landing di bandara Sumbawa nanti, apabila dipaksakan. Pilot akhirnya memutuskan untuk kembali ke apron dan memperbaikinya agar tak mengganggu keselamatan. 

Luar biasanya awak kabin memberitahukan kendala tersebut pada para penumpang setelah pesawat landing. Karena bila diinfokan sebelum terbang dari Lombok, bisa makin banyak yang batal...hehe. 

3. Mau mendarat naik lagi putar lagi, serasa dihempas ke kiri dan ke kanan, tahun 2019, Lombok-Sumbawa. 

Ini naik pesawat terakhir sebelum pandemik Covid 19. Di Bulan Desember 2019, pulang training di Jakarta. Sampai di Lombok, naik pesawat baling-baling tujuan Sumbawa. 

Tak ada guncangan, namun ketika lewat di atas gunung, pesawat seperti terhempas ke kiri dan ke kanan. Kerasa banget, saya langsung kaget. Bayangannya sudah kemana-mana. Penumpang lain juga merasakan. 

Ketika hendak mendarat, tak jadi. Berputar di atas lautan beberapa kali. Ada dua kali percobaan landing namun naik lagi. Saya sudah kepikiran ke tragedi pesawat Bandung-Bali yang jatuh di perairan dekat Bandara Ngurah Rai tahun 2013, karena Bandara ini pinggirannya juga laut. 

Ada sekitar 10 menit akhirnya balik lagi dan bisa mendarat sempurna. Thanks God!

4. Paling seru, penerbangan terlama 11 jam, Jayapura - Denpasar, transit 4 bandara. 

Waktu masih Pesawat Merpati, saya berangkat jam 09.00 WIT dari Jayapura sampai di Denpasar Bali jam 20.30 WITA. Bukan main karena di jaman sekarang , kayaknya tak ada jarak tempuh lama seperti ini dengan rute yang sama dalam satu hari.  

Pesawat singgah di Bandara Biak hampir 1 jam, setelah itu tansit lagi di Manokwari satu jam, lalu mampir lagi di Bandara Pattimura Ambon selama 2 jam. Dari Maluku burung besi itu transit lagi di Hasanuddin Makasar. Dari Sulawesi akhirnya ke Bali. 

Saya bukan penumpang terakhir, karena terakhirnya di Jakarta. Luar biasa Merpati di kala jayanya ketika melintasi seluruh Indonesia. Meski seingat saya tombol AC di atas kepala bocor dan air pendinginnya menetes membasahi rambut selama duduk di kabin...hehe. 

Btw makanan nasi kotaknya enak banget, dua kali makan berat di selang seling camilan. Luar biasaa!!

Hanya sekedar berbagi, 

Semoga transportasi udara Indonesia semakin baik dan minim kecelakaan, karena fungsi nya sangat penting di negara kita yang kepulauan ini. 

Referensi bermanfaat bisa baca tulisannya  Bang Capt Maha Dewa Agni Jatayu: 

1. https://www.kompasiana.com/dewantaa0909/60018e528ede4815d75b5d42/sahabatku-tidur-panjang-di-sriwijaya-air-sj-182

Salam, 

13 januari 2021, 18.50 Wita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun