Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bila Anjay Bermakna Anjing, Ini Alasan Saya Tak Terima

2 September 2020   14:57 Diperbarui: 2 September 2020   18:54 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: quickmeme.com

Just Sharing...

Maaf, sekali lagi maaf. 

Sebagai anak daerah yang merantau ke kota besar sekian tahun lalu, saya agak sensitif sama kata salah satu hewan ini. Bahkan saya pernah ribut ketika seseorang melontarkan kata ini pada diri saya. Dibalik makna apapun yang terkandung pada kata binatang berkaki empat ini, rasa - rasanya terlalu kurang di ajar bila terucap dari lidah seseorang. 

Kini ketika anjay menjadi polemik di masyarakat, saya tiba -tiba ketiban heran. Pertanyaan pertama adalah apa tidak ada kata yang lebih pantas dari itu? Selanjutnya yang kedua adalah melihat geografi wilayah Indonesia yang memanjang dari Sabang sampai Merauke, mengapa istilah yang bermakna negatif oleh warga di kota besar , harus bermigrasi ke ranah verbal anak -anak di daerah? 

Apakah identitas bahasa sehari -hari hanya mengacu ke penduduk Indonesia di Jakarta dan Jawa Sentris, hingga anak -anak muda dan anak -anak usia sekolah dari ujung barat sampai timur harus membahasakan itu agar terkesan modern dan gaul? 

Alangkah baiknya tidak seperti itu. Bahasa gaul atau komuniikasi slang bisa menjadi tren sesaat dalam rentang generasi tertentu, tetapi dampaknya akan terwarisi.

Lihat saja anak -anak keci pada masa kini.  Tak usah jauh -jauh mutar TV atau nonton you tube. Tak perlu juga cek ricek di IG atau face book. Amati saja anak -anak sekolah usia TK, play grup bahkan usia SD dan SMP. Sadarkah bahwa segelintir di antara anak atau cucu -cucu ini, ada umpatan kata AN**Y atau ANJ**G keluar dari lidah kecil mereka.  

Ini 3 Alasan mengapa tak elok membiasakan kata - kata seperti ini : 

1. Tidak semua keluarga mengajarkan dan membiasakan perkataan itu dalam tumbuh kembang si anak

Ini mungkin alasan yang logis. Ketika orang tua yang membesarkan si anak dan budaya yang tumbuh di dalam keluarga besar mengharamkan perkataan makian dengan menggunakan nama -nama hewan, atau makian fisik lainnya, akan merasa terbeban ketika suatu saat terdengar itu dari mulut si anak.

Wajar itu. Lantaran manakala si buah hati tumbuh dengan nilai -nilai kebahasaan yang diwariskan keluarga, di situ salah satu ukuran keberhasilan orang tua dalam mendidik sang anak. Harapannya akan turun temuun budaya santun dalam berbahasa itu di wariskan. 

Pengalaman saya sendiri, pernah ribut gara -gara ucapan An***ng yang dilontarkan pada saya. Ketika saya marah dan tak terima, karena merasa mulut saya tak sekalipun pernah secara lisan atau tulisan mengatakan pada orang lain. 

Gesekan dan perselisihan itu sampai merambah ke manajemen di internal. 

" Saya merasa biasa saja. Karena di keluarga sudah biasa ngomong seperti itu dari kecil ," kilah rekan yang mengucapkan itu pada saya

" Jadi dengan begitu, kamu merasa semua orang di kantor ini, bahkan di luar kantor, bisa kamu umpat alias maki dengan kata -kata seperti itu? ," tantang saya

Wahai pembaca, bayangkan ketika dua anak muda yang dibesarkan dalam budaya berbahasa yang berbeda, bertemu dan bekerja di tempat yang sama. Apakah tidak terjadi clash karena generalisasi bahasa, pada orang -orang yang berbeda tempat di mana dan seperti apa dia tumbuh dan berkembang. Yang satu merasa begitu sensitif dengan ucapan rekannya, sedangkan yang mengucapkan merasa biasa saja. 

Bisa ribut dan melebar ke mana -mana. 

2. Tak ada agama dan budaya luhur yang mengajarkan makian dalam bentuk versi halus atau versi kasar. 

Kita hidup dengan agama karena agama juga hasil dari budaya. Masalahnya bkan pada apa kepercayaanmu, apa keyakinanmu, tapi kebenarannya adalah hampir tak ada agama yang mengajarkan pemeluknya saling maki atau berbalas umpatan menghina antar sesama pemeluk agama. 

Pertanyaannya adalah bila Ketuhanan Yang Maha Esa itu masih menjadi sila yang pertama dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab tetap ada di sila ke dua, mengapa seorang atau orang lain dibuat atau tak dianggap beradab oleh sebuah perkataan An***NG atau Anjay? 

Ketika bahasa mencirikan bangsa, haruskah perkataan slang semacam itu atau sejenis itu merendahkan nilai dari keluhuran pengamalan pedoman bangsa yang di acu seluruh warga di tanah Indonesia? Mana beradabnya bangsa kalau generasi muda mewariskan ketidaksantunan bahasa dengan alibi ini cuma bahasa biasa? 

Lalu anak anak kita, cucu -cucu kita, yang masih di bawah umur mencontoh dan menjadi itu biasa, lantas untuk apa pengajaran Bahasa Indonesia oleh guru -guru bermartabat di sekolah mereka? Yang diajarkan lain, yang diucapkan berbeda.

 Apa yang mau ditanam dalam rekaman memori para generasi Z ini? Kesantunan bahasa atau kemerdekaan mengungkapkan ekpresi dengan makian? 

3. Produk berbahasa di kota kecil, tanpa sadar 'diturunkan' dari kebiasaan berbahasa di kota besar

Sadar ngga sih, Indonesia itu bukan hanya Jakarta. Tidak juga Bandung atau Surabaya. Tapi kenapa acap kali bahasa slang yang beraneka rupa di kota -kota ini dan kota -kota besar lainnya di tanah air, mewabah sampai ke kota kecil ujung timur Indonesia atau ujung barat Pulau Sabang sana? 

Dari jaman internet masih sembunyi dalam gua peradaban sampai beronjol dan beranak pinak jadi media sosial, hampir identitas bahasa berkiblat pada popularitas bahasa warga di kota besar. Mulai dari lu, gue, kepo, gaul hingga anjay dan yang lainnya? Apakah para anak muda dan milenial di daerah harus mengikuti kegaulitas anak -anak muda di kota besar agar di bilang tak ndeso, tak kuno dan tak ketinggalan jaman? 

Ini bukan soal dialek atau logat. Tapi perihal diksi kata tersebut dalam komunikasi sehari -hari. Warga lokal di daerah siapapun bisa menyebutkan meski dengan logat khas daerah. 

Sebagai pemisalan, bisa saja seorang anak muda di kawasan timr Indonesia menguucapkan kata An**Y pada temannya demi dibilang gaul? Lalu temannya akhirnya ikut-ikutan. Lantas  menjamur di WA, FB., IG dan lain-lainnya. Akhrnya jadi satu budaya komunikasi agar sama dengan di kota besar. 

Karena bila mau jujur, dari mana warga  di Merauke missalnya, atau di kota-kota kecil di tanah air tahu  kata anjay kalo tidak dari anak -anak di kota besar yang membahasakannya secara lisan atau tulisan lewat tayangan media sosial? 

Lantas akan menggejala kemana-mana dan membentuk sebuah identitas. 

Parahnya itu bukan identitas bangsa melainkan identitas generasi, yang sayangnya tak sesuai budaya dan nilai keluhuran. 

Sudahlah, yang 'lurus-lurus' dan santun aja ya, 

Salam, 

Sumbawa NTB, 02 September 2020

15.56 Wita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun