Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bila Anjay Bermakna Anjing, Ini Alasan Saya Tak Terima

2 September 2020   14:57 Diperbarui: 2 September 2020   18:54 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sadar ngga sih, Indonesia itu bukan hanya Jakarta. Tidak juga Bandung atau Surabaya. Tapi kenapa acap kali bahasa slang yang beraneka rupa di kota -kota ini dan kota -kota besar lainnya di tanah air, mewabah sampai ke kota kecil ujung timur Indonesia atau ujung barat Pulau Sabang sana? 

Dari jaman internet masih sembunyi dalam gua peradaban sampai beronjol dan beranak pinak jadi media sosial, hampir identitas bahasa berkiblat pada popularitas bahasa warga di kota besar. Mulai dari lu, gue, kepo, gaul hingga anjay dan yang lainnya? Apakah para anak muda dan milenial di daerah harus mengikuti kegaulitas anak -anak muda di kota besar agar di bilang tak ndeso, tak kuno dan tak ketinggalan jaman? 

Ini bukan soal dialek atau logat. Tapi perihal diksi kata tersebut dalam komunikasi sehari -hari. Warga lokal di daerah siapapun bisa menyebutkan meski dengan logat khas daerah. 

Sebagai pemisalan, bisa saja seorang anak muda di kawasan timr Indonesia menguucapkan kata An**Y pada temannya demi dibilang gaul? Lalu temannya akhirnya ikut-ikutan. Lantas  menjamur di WA, FB., IG dan lain-lainnya. Akhrnya jadi satu budaya komunikasi agar sama dengan di kota besar. 

Karena bila mau jujur, dari mana warga  di Merauke missalnya, atau di kota-kota kecil di tanah air tahu  kata anjay kalo tidak dari anak -anak di kota besar yang membahasakannya secara lisan atau tulisan lewat tayangan media sosial? 

Lantas akan menggejala kemana-mana dan membentuk sebuah identitas. 

Parahnya itu bukan identitas bangsa melainkan identitas generasi, yang sayangnya tak sesuai budaya dan nilai keluhuran. 

Sudahlah, yang 'lurus-lurus' dan santun aja ya, 

Salam, 

Sumbawa NTB, 02 September 2020

15.56 Wita

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun