Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bila Anjay Bermakna Anjing, Ini Alasan Saya Tak Terima

2 September 2020   14:57 Diperbarui: 2 September 2020   18:54 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengalaman saya sendiri, pernah ribut gara -gara ucapan An***ng yang dilontarkan pada saya. Ketika saya marah dan tak terima, karena merasa mulut saya tak sekalipun pernah secara lisan atau tulisan mengatakan pada orang lain. 

Gesekan dan perselisihan itu sampai merambah ke manajemen di internal. 

" Saya merasa biasa saja. Karena di keluarga sudah biasa ngomong seperti itu dari kecil ," kilah rekan yang mengucapkan itu pada saya

" Jadi dengan begitu, kamu merasa semua orang di kantor ini, bahkan di luar kantor, bisa kamu umpat alias maki dengan kata -kata seperti itu? ," tantang saya

Wahai pembaca, bayangkan ketika dua anak muda yang dibesarkan dalam budaya berbahasa yang berbeda, bertemu dan bekerja di tempat yang sama. Apakah tidak terjadi clash karena generalisasi bahasa, pada orang -orang yang berbeda tempat di mana dan seperti apa dia tumbuh dan berkembang. Yang satu merasa begitu sensitif dengan ucapan rekannya, sedangkan yang mengucapkan merasa biasa saja. 

Bisa ribut dan melebar ke mana -mana. 

2. Tak ada agama dan budaya luhur yang mengajarkan makian dalam bentuk versi halus atau versi kasar. 

Kita hidup dengan agama karena agama juga hasil dari budaya. Masalahnya bkan pada apa kepercayaanmu, apa keyakinanmu, tapi kebenarannya adalah hampir tak ada agama yang mengajarkan pemeluknya saling maki atau berbalas umpatan menghina antar sesama pemeluk agama. 

Pertanyaannya adalah bila Ketuhanan Yang Maha Esa itu masih menjadi sila yang pertama dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab tetap ada di sila ke dua, mengapa seorang atau orang lain dibuat atau tak dianggap beradab oleh sebuah perkataan An***NG atau Anjay? 

Ketika bahasa mencirikan bangsa, haruskah perkataan slang semacam itu atau sejenis itu merendahkan nilai dari keluhuran pengamalan pedoman bangsa yang di acu seluruh warga di tanah Indonesia? Mana beradabnya bangsa kalau generasi muda mewariskan ketidaksantunan bahasa dengan alibi ini cuma bahasa biasa? 

Lalu anak anak kita, cucu -cucu kita, yang masih di bawah umur mencontoh dan menjadi itu biasa, lantas untuk apa pengajaran Bahasa Indonesia oleh guru -guru bermartabat di sekolah mereka? Yang diajarkan lain, yang diucapkan berbeda.

 Apa yang mau ditanam dalam rekaman memori para generasi Z ini? Kesantunan bahasa atau kemerdekaan mengungkapkan ekpresi dengan makian? 

3. Produk berbahasa di kota kecil, tanpa sadar 'diturunkan' dari kebiasaan berbahasa di kota besar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun