Oh my God, kataku dalam hati. Sudah berapa banyak pengunjung di warung ini kerap melakukan seperti itu. Dan apakah pemilik dan pelayan warung ini tahu pola perilaku pelanggan yang datang ke warungnya.Â
Tahu dan dibiarkan atau memang tak sadar lantaran sibuk melayani pelanggan. Dua pertanyaan itu langsung muncul di benak saya.
Lalu keresahan yang ketiga datang, mengapa tak ada orang lain di warung itu yang menegur bahwa itu perilaku yang sudah pasti tak sehat dan terkesan jorok.Â
Bukankah ada banyak rumah makan yang menyediakan wadah dan tatakan tempat minum sendiri sebagai pelayanan ke pelanggannya dengan contoh yang sama seperti ini.
Dan akhirnya saya beranjak berdiri. Tak berniat lagi melanjutkan makan siang. Membayar dan keluar dari warung sambil membawa rasa trauma agar tak lagi makan di warung yang seperti itu.Â
Mungkin itu subyektif bagi saya secara pribadi, namun secara kolektif, rasa-rasanya kita sepakat bahwa itu perilaku yang tak sehat. Dengan pemahaman dan kesadaranan bahwa masih banyak warga abai dalam hal in
"Mas, kok tumben makannya ngga dihabiskan?", masih terbayang kata mbak pelayan saat memberi uang kembalian.
"Hmm...",gumamku.
Waspada penularan penyakit melalui peralatan minum bersama
Saya bukan dokter. Juga bukan seorang yang dulunya kuliah di bidang kesehatan masyarakat. Namun sebagai salah satu warga dari sekian banyak penduduk di negeri ini yang bekerja di luar rumah, mau tak mau, perilaku tak sehat ini bisa berdampak kepada saya.Â
Mengapa? Karena saya tak makan siang, makan pagi atau bisa saja lantaran kerja, tak juga sempat  makan malam di rumah.