Just Sharing
Di Bulan Oktober 2019 lalu, saya mengikuti pelatihan seminar kewirausahaan di Surabaya, Jawa Timur. Masing -masing kantor cabang mengirimkan dua orang perwakilan. Jadi saya bersama salah satu rekan yang berbeda divisi, hadir sebagai peserta.Â
Trainingnya selama dua hari. Pembicaranya  adalah seorang yang sudah malang melintang di dunia perbankan dengan jabatan yang lumayan 'wah', meski usianya masih di bawah 42 tahun.
Garis besar yang dibahas adalah mengenai tantangan sektor jasa keuangan (perbankan, multifinance dan lembaga pembiayaan ) dan bagaimana beradaptasi dengan  digitalisasi. Nasabah atau calon nasabah sudah tak lagi rutin ke kantor untuk layanan jasa finansial. Hampir semuanya ngikutin lagunya Om Saykoji , Online Online.Â
Ada banyak ilmu dan kiat dari pengalaman yang di bagikan pada para peserta. Namun ada satu, yang saya baru nyadar alias ngeh, ketika dibahas soal: Informal Networking.
Informal networking (IN), sesuai pengertian sederhananya dalam Bahasa Inggris, adalah jaringan tak formal di tempat bekerja. Berbeda dengan struktur atau jejaring atasan bawahan atau pimpinan dengan tim nya, yang umumnya  dibentuk oleh manajemen berdasarkan kebijakan perusahan atau tata kelola pegawai di institusi.Â
IN adalah jaringan antarkaryawan, yang secara sukarela bergabung atau ditarik untuk bergabung, tanpa adanya keharusan atau memo dari atasan (manajemen). IN dibentuk sendiri oleh karyawan atau sekelompok pekerja dengan tujuan dan maksud tertentu, tanpa sepengetahuan atasan dan manajemen.Â
Dari kita untuk kita. Mungkin bisa dimaknai seperti itu. IN berdiri di luar kebijakan kantor namun tetap memantau kebijakan dan kondisi di internal perusahaan atau institusi, dan dampaknya terhadap kebutuhan dan keinginan mereka yang terlibat (berada di dalam IN).
Ciri -Ciri IN:Â
1. Ada penggagas merekrut anggota
Ini bisa hanya seorang, namun bisa juga sebuah tim yang terdiri beberapa orang.  Umumnya mereka  punya pengaruh dalam tanda kutip. Baik terhadap orang -orang yang diundang masuk,  atau memang sudah punya jabatan tertentu di bawah level atasan langsungnya.Â
Mereka merekrut rekan sesama pekerja, atas dasar kesamaan paham, kedekatan atau gampang mudahnya dipengaruhi untuk dipaparkan dengan tujuan dari IN bentukkan mereka.Â
Dengan demikian tak semua pegawai masuk dalam IN tersebut. Bisa jadi sebagian tak tertarik atau jiwanyya tak suka dengan jejaring lain di luar jaringan struktur legal yang telah ada di tempat kerja.Â
2. Teknologi media, IN bertransformasi dalam bentuk Grup WA.Â
Di era sebelum komunikasi berkembang pesat, IN mungkin lebih banyak dilakukan secara manual. Dalam arti, karyawan internal yang menjadi penggagas, untuk memaparkan niat dan ide, harus bertemu karyawan demi karyawan atau mengumpulkan sejumlah karyawan di kantin atau di warung kopi langganan.Â
Di jaman sekarang, perekrutan dan ajakan, Â lebih banyak via undangan bergabung di grup WA mereka. Bahkan bila salah satu sudah bergabung di dalam, akan meminta ijin pada admin grup untuk menambahkan rekan lain, yang dirasa 'cocok' dalam tanda kutip dengan tujuan IN.Â
Pernahkah Anda menerima tawaran bergabung pada WAG seperti ini di tempat berkarir? Â Hmm...
3. IN WAG tak diketahui pimpinan dan manajemen , termasuk para  pegawai lain yang tak bergabung
Karakteristik dari Whatss Up itu sendiri dengan kemudahaan bikin grup dan undang anggota, menjadi realitas utama mengapa tak diketahui. Ada faktor privasi dan eksklusf. Dari kita untuk kita.Â
Bahkan admin grup dan anggotanya, yang seluruhnya berstatus pegawai di internal, menjadikan IN WAG ini sebagai grup tersembunyi di luar WAG bentukkan kantor . Sudah pasti akan pilih pilih orang, termasuk mensyaratkan kriteria tertentu.Â
4.IN lahir, eksis, dan bubar, sewaktu -waktu tergantung kondisi.Â
Karena sifatnya tersembunyi, WAG jenis ini bisa dibentuk kapan saja. Latar belakangnya adalah bila para inisiator merasa ada yang tak sesuai harapan dan tak sehati dengan kebijakan di tempat kerja. Mereka berinisiatif membentuk IN dengan mengundang sejumlah karyawan sebagai pengikut.Â
Ketika sebagian pekerja telah bergabung, admin dan penggagas akan memperkenalkan diri, sekalian sharing maksud dan tujuan nya. Biasanya  para pelibat yang terundang sudah ada 'kedekatan' atau 'sepaham.Â
Jadi ketika tujuan  dari WAG bentukan sudah 'tercapai', bisa jadi WAG ini akan cuci gudang alias ditutup. Makna kata tercapai di sini bisa orientasi nya pada aspek negatif maupun positif. Tergantung tujuan awal. Meski demikian, tak sedikit IN WAG sejenis ini , tetap eksis lantaran para admin nya masih kerja di sana.
Beberapa kecenderungan terbentuknya IN.Â
Tak semua perusahaan atau institusi dengan beraneka  tipe pegawai, dapat berpotensi membentuk grup di dalam grup. IN cenderung terjadi pada tipe -tipe tempat bekerja dengan sejumlah kriteria ini:Â
a. Jumlah pegawai di kantor tersebut banyak atau minimal di atas 60 an orang.Â
Makin banyak orang dalam perusahaan, dengan beragam jenjang, makin mudah terjadinya perbedaan cara pandang terhadap kebijakan internal. Pro kontra terhadap aturan manajemen, yang mengatur ke dalam atau ke luar , adalah hal yang wajar. Namun bisa jadi, ini berpotensi membuat segelintir orang dalam. membuat IN untuk mengkonfrontasi kebijakan internal, dengan menggodoknya di WAG bentukan mereka.Â
b. Para pegawai nya profesional dan berpendidikan
Ini bisa jadi salah satu pendorong. Karena dengan dua kelebihan ini, selain mampu merekrut pegawai lain, mereka juga mampu melihat sisi baik dan sisi buruk dari sebuah kebijakan, dan menghubungkannya dengan dampaknya terhadap diri mereka dan orang -orang di dalam IN nya. Para orang dalam ini juga bahkan bisa berhitung resiko andai IN WAG nya, Â di ketahui oleh manajemen atau pimpinan.Â
c. Adanya minat yang  sepaham dan sehati, di antara begitu banyak karyawan internal.
IN WAG, tak hanya konotasi nya ke hal yang negatif. Bisa juga dibentuk lantaran kesamaan paham dan kesamaan minat di antara karyawan, namun tujuannya tak berkaitan dengan visi dan misi institusi.Â
Tak seperti komunitas , misalnya ibu -ibu dharma wanita , emak emak persit  atau istri -istri bhayangkara. Karena yang seperti ini, biasanya formal dan sepengetahuan institusi.Â
Ini lebih sedikit anggota yang bergabung dalam grup tertentu. Bisa pegawai wanita saja, karyawan pria saja, ataukah gabungan keduanya. Syaratnnya  punya kesamaan.  Â
Misalnya: keyakinan sepaham, hobby nya (sama -sama suka mancing, suka bola, suka traveling dan  suka yang plus plus). hehe, Lantas sisi mana yang salah pada grup grup seperti ini ? Bisa saja memicu geseran pioritas.Â
Ini 4 Potensi bahaya dari bermacam IN WAG oleh para pegawai internal di tempat kerja
Bekerja di perusahaan formal atau institusi milik pemerintah, hampir tak ada aturan yang melarang atau membatasi para pegawai dalam hal jumlah grup WA yang di ikuti. Mungkin pertimbangannya adalah di internal saja sudah banyak WAG bentukan manajemen atau kedinasan,Â
Belum lagi yang lintas divisi atau lintas kedinasan. Kesemua WAG itu merupakan formal networking di tempat kerja. Adminnya bisa atasan terkait. Lika-liku chatting di situ, umumnya berkaitan dengan tugas pokok pegawai.
Dengan keleluasaan demikian, sangatlah mungkin orang dalam perusahaan, bisa bikin WAG sendiri di antara mereka, Â yang tak bersangkut paut dengan visi dan nilai -nilai dasar di tempat kerja nya. Sudah pasti tak terlacak pula oleh pimpinan. .Â
Apa saja potensi bahayanya?Â
1. IN WAG, bisa membicarakan sisi buruk kebijakan dan aturan manajemen, termasuk bisa juga bullyan. Â
Rekan -rekan sekerja, dengan tipe dan model yang sama, bisa saja mem bully atasan ketika mereka menyatu di satu WAG. Mengapa? karena seleksi sudah di lakukan di depan, pada siapa dan karyawan yang bagaimana, yang bisa terundang masuk di dalam IN WAG mereka.Â
Dari bullyan bersifat rasis, SARA hingga perundungan fisik. Di depan menghormati, namun di IN WAG mereka bisa tanpa rasa bersalah mencabik -cabik. Mulai dari nyinyir, berbalas komen dan emotikon, Menyasar atasan atau manajemen.Â
Mungkin itu sisi jahat dalam diri yang tersingkap ketika lingkungan tercipta. Atau mungkin pelampiasan balas dendam karena pernah mengalami ketidaksiplinan sebagai pegawai. Misal kena SP, sanksi pemotongan ini dan itu.. atau ekspresi ketidaksukaan terhadap atasan. Â
2. Memengaruhi orang lain di dalam grup, agar tak searah  dengan kebijakan manajemen atau prosedur tata kelola.Â
Dari mana datangnya pelanggaran dan beraneka ketidakbenaran di tempat kerja? Bisa jadi terpengaruh oleh arahan lain di dalam IN WAG Â Adanya senior di dalam IN WAG, bisa mendoktrin para yunior agar mengabaikan terhadap kebijakan internal. Â Â
Dan parahnya, karena tak tahu, para atasan dan tim manajemen capek ngurusin pegawai -pegawai yang tak selaras aturan karena mereka di pupuk dengan siraman doktrin yang sesat oleh mereka yang dihormati dalam IN WAG. Parahmya grup grup ini tak diketahui dan diikuti oleh manajemen.Â
3. Menggalang kekuatan dan opini uuntuk menentang kebijakan internal atau kebijakan pusat, yang mesti di implementasi di bawah.Â
Level manajemen, umumnya adalah mereka yang terpilih dengan kualifikasi tertentu, untuk melihat lebih luas, lebih detail sesuai kapasitas dan pengalaman. Ketika mereka mengarahkan kebijakan yang di rasakan baik untuk masa depan perusahaan dan dampaknya ke depan, harapannya adalah seluruh internal menjalankan.Â
Ketika kebijakan itu di share di WAG formal milik kantor, biasanya manajemen terbuka terhadap saran, koreksi dan masukan dari seluruh pegawai. Realitanya ada pegawai yang berani bertanya, atau ajukan saran, namun ada juga yang mungkin karena malu, takut dan rasa lainnya, tak berani bicara.Â
Bila karyawan tipe malas bicara itu ada di grup IN WAG, bisa jadi kebijakan itu akan jadi pembahasan menarik di dalam grup mereka itu. Mulai dari sisi tak menarik yang dilihat oleh mereka sampai menggalang kekuatan untuk menentang secara bersama -sama dalam rapat atau pertemuan bersama seluruh karyawan.Â
Bayangkan bila orang-orang tipe demikian bersuara bersama, bahkan sambil maaf, menunjuk -nunjuk pimpinan. Sangatlah tak elok. Padahal sudah disediakan ruang dalam WAG bersama ketika kebijakan disosialiasi di awal.
Perlu dicermati, bisa saja motivasi segelintir orang, yang mencari momen tuk menjatuhkan atasan atau memprovokasi manajemen, dengan alasan dan kasus tertentu. Politik bisa merasuk sampai ke tempat bekerja. Di situ ada potensi bahaya.
4. IN WAG dengan ketertarikan sama, kadang lebih 'menggoda  dibanding WAG kantor.Â
Gara -gara fokus sama IN WAG,  teman -teman satu kantor, yang hobi  traveling atau futsal, atau punya minat yang lain, bisa berakibat kerjaan dan target tak tercapai maksimal. Waktu dan konsentrasi lebih banyak tuk beresin agenda di dalam IN WAG mereka.Â
Dikit dikit lihat, komen, kemudian ketawa. Curi -curi pandang padahal jam kerja dibayar manajemen tuk pendapatan si pegawai. Di sisi lain, di WAG kantor mungkin ada hal penting yang di share. Atau atasan langsung sedang menugaskan sesuatu yang penting di kerjaan harian. Â Â
Pegawai model begini, kerjaan di kantor nomor sekian. Hobi dan kebersamaan bersama orang dalam di IN WAG , itu yang utama. Sayangnya pimpinan tak tahu grup grup an di level bawahan, karena lebih berharap pada pencapaian kinerja si anak buah.Â
Yang dikuatirkan adalah ada segelintir para pekerja, yang lebih fokus sama warna warni di IN WAG dibanding WAG kantor.  Mungkin tak jadi masalah bila  kinerja tetap konsistenÂ
Namun bila semakin menurun dan tak stabil, bisa dianalisa. Mungkin ada yang lebih menarik perhatian si pegawai sehingga menggeser prioritas nya....hehe.Â
Salam,
Sumbawa NTB, 24 September 2020,
22.30 Wita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H