“Mas , ini sekedarnya buat uang bensin,” ujar wanita lima puluh tahunan itu sembari menyisipkan sebuah amplop putih berukuran 11 cm X 22 cm yang sudah dilipat dua ke dalam map yang kami bawa. Saya dan seorang rekan kerja (staf dalam divisi saya) saling memandang melihat apa yang dilakukan calon nasabah tersebut.
“Sekedar saja Dek,” timpal suaminya pula yang pula duduk bersama kami. “Bisa buat beli pulsa,” lanjutnya
Terlihat dari raut wajah, mereka berharap kami bisa menerima sekedar imbalan atas pengajuan pinjaman yang mereka ajukan ke kantor.
“Tabe (maaf dalam Bahasa Sumbawa) bapak ibu, kami sudah ditanggung dari kantor untuk biaya bensin dan pulsa. Kami tidak diperbolehkan untuk menerima pemberian dari calon nasabah. ,” kata saya dan menyerahkan kembali amplop putih (yang didalamnya berisi beberapa ratusan ribu) yang tadi diberikan istrinya.
“Ngga enak” memang tapi harus. Maksud saya ngga enak dalam tanda kutip adalah saat melihat dan membaca ekspresi kekecewaan dari calon nasabah yang nampak di wajah mereka. Rasa malu, gundah dan kecewa campur jadi satu. Dan saya, entah ini yang keberapa kali, harus menolak pemberian ala kadar seperti ini. Harus melawan rasa “ngga enak” bukan karena tidak bisa menerima, tapi tidak tahan melihat ekspresi di wajah calon nasabah. Ibarat menembak seorang wanita mau tidak menjadi pacar. Dan wanita tersebut harus melihat ekspresi kekecewaan di wajah pria yang ditolak cintanya. Tapi dalam hal mengutarakan keinginan mau tidak menjadi pacar, si wanita mungkin lebih memilih yang sesuai “kriterianya” sebaliknya dalam hal menolak / menerima imbalan jasa atas pengajuan pinjaman calon nasabah lebih berpulang pada integritas. Bagi saya pilihannya cuma dua : ngga enak nolak ya terima saja,tapi ada rasa bersalah karena sadar itu sesuatu yang salah. Atau tetap menolak karena sadar ini sesuatu yang benar, walau ngga enak ngelihat ekspresi wajah calon nasabah. Dan saya lebih memilih yang kedua.
Pemberian ala kadar seperti ini mungkin jamak. Uang bensinlah, uang pulsalah, uang rokoklah atau sekedar ajakan makan siang ataupun makan malam. Bisa pula pemberian barang, voucher belanja, dan lain sebagainya yang dianggap sebagai tanda terima kasih. Entah itu dilakukan saat pra kredit ataupun pasca kredit. Terlebih untuk pinjaman – pinjaman yang besar, di atas 100 juta misalnya. Tindakan ‘sogok’ mungkin dirasa calon nasabah bisa mempercepat proses approval (persetujuan) kredit. Dan saya (dan juga mungkin kita) yang bekerja menangani aplikasi kredit seperti ini, harus berperang dengan perilaku semacam ini. Antara mau menerima ataupun menolak (secara halus) undangan itu.
Memang tidak semua modusnya adalah menyogok untuk mendapatkan persetujuan kredit. Karena ada juga beberapa calon nasabah, yang memang secara analisa kredit layak diberikan pinjaman. Jadi disogok ataupun tidak disogok, disuap ataupun tidak disuap, aplikasi keditnya akan disetujui. Masalahnya adalah pemberian semacam itu tidaklah etis. Prinsip ‘say no to fraud’ haruslah dipegang. Bukankah skandal keuangan besar dimulai dari hal – hal yang sekedar pemberian tapi nilainya puluhan juta ataupun ratusan juta yang berawal dari sekedar ajakan makan siang, makan malam atau ketemuan di café atau hotel? Selanjutnya bla bla bla…dil dil delete. Maksudnya gara – gara deal yang ngga sesuai prosedur, akhirnya di delete (dicopot) dari jabatan.
Well..kembali ke pilihan masing – masing. Adalah suatu kehormatan (pula kebanggaan) bila kita dipercayakan untuk mengelola pemberian pinjaman kepada calon nasabah. Sebagai ujung tombak perusahaan atau institusi, tentunya tidak mudah untuk menduduki jabatan tersebut. Yang kita berikan bukanlah dana pribadi akan tetapi dana milik lembaga keuangan, yang mungkin saja dana tersebut adalah dana funding (pinjaman). Bila prosedurnya benar, tanpa adanya “indikasi sogok” dan lain – lain dalam pemberian dan persetujuan kredit, bila terjadi resiko (macet, dsb) secara aturan kita aman. Lagian proses persetujuan kredit biasanya sudah melewati beberapa tahap (filter) sebelum dicairkan.
Jadi bagi bapak ibu, yang mungkin nanti suatu saat dikarenakan kebutuhan atau keperluan tertentu membutuhkan dana (modal) dan berniat mengajukan pinjaman kredit, hendaklah tidak memberikan ‘sesuatu pemberian’ dalam tanda kutip untuk memuluskan atau mempercepat proses persetujuan kreditnya diluar hal – hal semestinya dipenuhi oleh nasabah. Dalam hal ini misalnya berkas administrasi, berkas agunan (jaminan) yang disyaratkan wajib harus dilengkapi agar proses pra kreditnya juga lebih cepat. Dari pengalaman, bila terjadi ‘ deal khusus’ diluar prosedur antara calon nasabah dan pegawai/karyawan yang menangani aplikasi nasabah tersebut, bila terjadi resiko macet, dsb, akan terjadi konflik bila nasabah tidak berkenan melunasi angsurannya. Nasabah bisa berkoar telah memberikan sejumlah uang atau apalah kepada oknum yang menangani aplikasi nasabah tersebut di masa lalu. Dan untuk oknum karyawan atau pegawai yang bekerja di bagian / divisi ini, bila terbukti biasanya langsung diminta untuk segera resign (dipecat secara halus). Nasabah tersebut mungkin masih bisa terus melanjutkan hidupnya (pula usahanya) tetapi bagaimana dengan nasib atau kelanjutan hidup dari karyawan/pegawai yang diresignkan tersebut? Mungkin akan sulit mendapatkan pekerjaan baru di bagian / bidang yang sama karena ‘track record’ buruk di pekerjaan sebelumnya. Siapa yang salah? Calon nasabahkah yang mencobai oknum pegawai ataukah oknum pegawai yang terjerat pemberian nasabah?
Tidak ada pekerjaan yang tidak ada resiko. Tapi orang yang benar akan memegang apa yang benar
‘A good name is more desirable than great riches…(proverbs)’
Sumbawa Besar, 13 Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H