Mohon tunggu...
Komang Adnyana Wibawa
Komang Adnyana Wibawa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

S1 Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkawinan Beda Kasta di Bali, Apakah Bisa?

10 Juni 2022   08:57 Diperbarui: 10 Juni 2022   09:18 15319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Era globalisasi sekarang ini  menyebabkan berbagai perubahan yang baik  dalam segi ekonomi, politik maupun sosial budaya.  Hal-hal sosiokultural terjadi begitu cepat dan siapapun mereka tidak bisa menghindarinya. Saat ini, perkembangan informasi dan komunikasi menyebabkan berbagai efek positif dan negatif dalam perkembangan dan kehidupan masyarakat di dunia, termasuk di pulau dewata yaitu Bali ditandai dengan memudarnya budaya Bali itu sendiri. 

Keunikan Bali terlihat pada bagaimana masyarakat Bali terlihat secara lahir dan batin dalam pengembangan kekerabatan. Orang Bali cukup patuh untuk mengingat dari mana mereka berasal. Ini melahirkan berbagai kelompok masyarakat yang sekarang dikenal sebagai kasta atau wangsa.

Perkembangan zaman di Bali sekarang ini telah merubah pandangan tentang perkawinan pada masyarakat Hindu Bali. Dalam permasalahan perkawinan, kasta sangat sering menimbulkan adanya  pro dan kontra.  Bali memiliki bentuk perkawinan yang berbeda-beda, antara lain perkawinan biasa, nyentana, dan kasta (wangsa)  yang berbeda. Pada zaman Kerajaan, perkawinan wangsa merupakan perkawinan yang dilarang dalam masyarakat Hindu-Bali, Namun, berbeda dengan keputusan DPRD 11 tentang perkawinan kasta yang telah dilarang secara hukum  sejak tahun 1951. Perkawinan antara beda kasta secara hukum tidak lagi dianggap sebagai larangan..

Sebelum memahami perkawinan beda kasta, perlu dipahami di Bali masih terdapat sistem kasta. Sistem kasta dahulu digunakan untuk membedakan profesi dalam masyarakat. Kasta disebut dengan catur warna di Bali. Adapun Kasta di Bali terdiri dari : (1) Kasta Brahmana adalah sebutan buat para pemuka agama. Kasta ini dianggap utama dimana  berhubungan dengan seorang sulinggih atau pendeta atau rohaniawan yang berkaitan dengan hal keagamaan. 

Tugas dari Kasta Brahmana yaitu memberikan pencerahan dan ilmu pengetahuan kepada masyarakat sekitar. Kasta Brahmana di Bali memiliki gelar Ida Ayu dan Ida Bagus. (2) Kasta Ksatria adalah sebutan bagi mereka yang memiliki sikap jujur, tangkas, pemberani, memiliki kemampuan managerial, yang diduduki oleh para bangsawan raja dan pihak yang bergerak di bangku pemerintahan. Kasta Ksatria di Bali memiliki gelar Anak Agung, Tjokorda, I Gusti Agung, I Gusti Ngurah, I Dewa, dan I Gusti Ayu. 

(3) Kasta Waisya adalah sebutan bagi mereka yang diduduki yang bergerak dalam bidang ekonomi, seperti para pengusaha, pedagang, sejenisnya. Kasta Waisya di Bali memiliki gelar Ngakan, Sang, Si, Kompyang, Dewa, dan Desak. (4) Kasta Sudra adalah sebutan bagi mereka yang memiliki kecerdasan terbatas sehingga mereka cenderung bekerja dengan kekuatan fisik. Contohnya seperti buruh dan petani. Kasta Sudra di Bali biasanya diberi nama Putu, Made, Komang, Kadek, Nyoman, dan Ketut.

Perkawinan beda kasta di Bali dikenal dengan istilah perkawinan nyerod. Perkawinan beda kasta sendiri terjadi apabila pihak perempuan memiliki kasta yang lebih tinggi dibandingkan dengan pihak laki laki. Nyerod secara harfiah memiliki arti "meluncur".

Perempuan meluncur ke kasta yang lebih rendah dan tidak lagi merupakan bagian dari kasta keluarga besarnya. Dampaknya tidak main-main. Selain itu, si perempuan tersebut akan berisiko kehilangan akses sembahyang di pura keluarganya, serta kesempatan-kesempatan lain yang tidak lagi ia dapatkan. Sebagai contoh laki-laki adalah seorang yang memiliki Kasta Waisya sedangkan perempuan memiliki Kasta Brahmana, tentu pihak perempuan dalam sistem kasta dianggap memiliki kedudukan kasta yang lebih tinggi sehingga menyebabkan adanya perkawinan  nyerod yang menyebabkan si wanita telah kehilangan kasta brahmananya dan mengikuti suaminya. 

Pandangan pihak modern terhadap adanya perkawinan beda kasta menyatakan bahwa menyebabkan adanya diskriminasi dikalangan masyarakat yang berada di Kasta Waisya ataupun Sudra, padahal konsepnya terdahulu hanya digunakan untuk menggolokan profesi masyarakat

Berbicara masalah perkawinan, sejak zaman dahulu sudah menjadi hal yang biasa untuk tradisi perkawinan bagi penduduk setempat bahwa seorang Ida bagus harus menikah dengan seorang Ida ayu. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan dan wangsa dari seorang Brahmana. Banyaknya kasus perkawinan beda kasta tersebut tentu memiliki dampak atau implikasi bagi yang bersangkutan, keluarga, maupun masyarakat setempat. Selain itu, dapat dilihat dari segi kehidupan sosial-budaya maupun religius yang  sangat berbeda bagi seseorang antara sebelum melakukan perkawinan beda kasta dengan setelah melakukan perkawinan tersebut.

Kesimpulannya jika kita menikah namun berbeda kasta dengan pasangannya, secara umum tidak ada halangan karena bukan jamannya lagi dijodohkan tetapi mencari pasangan sendiri-sendiri. Hanya bagaimana meyakinkan keluarga saja dan siap mengemban tanggung jawab yang ada di keluarga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun