Sepulang dari kampus, seperti biasanya saya menenggelamkan diri dengan bacaan. Kebetulan, dua hari yang lalu, tiga novel tentang I Lagaligo baru saja saya beli. Buku yang mengisahkan tentang epos terpanjang di dunia itu, akan saya tuntaskan dalam waktu seminggu.
Saat tengah asyik menyelam dalam ruang imajinasi novel tersebut, saya terhenyak pada momen Sang Patotoqe (Raja Langit), murka pada dua orang pesuruhnya: Ruma Makkompong dan Rukelleng. Himbauan agar tak ada mahluk lain yang menyentuh Bumi sebelum ada manusia yang tinggal di sana, dilanggar oleh kedua pesuruh Sang Raja Langit. Ruma Makkompong dan Rukelleng, secara diam-diam turun dari langit untuk bermain-main di Bumi. Bajingan betul kedua mahluk langit itu! Batinku.
Ruma Makkompong dan Rukelleng, membuat teringat pada kedua sahabat saya yang (mungkin) juga turun dari planet lain. Mereka berdua memang nyaris sama dengan kedua pesuruh dari langit tersebut: sama-sama ceroboh dan sama-sama garib.
Maka, saya putuskan untuk menutup bacaan dan membuka laptop. Kisah Didit dan Anuar jauh lebih dahsyat tinimbang Ruma Makkompong dan Rukkelleng. Pikirku.
Baiklah, akan saya kisahkan cerita kegariban dua sahabat saya itu.
Didit, nama kawan (baca: mahluk garib) yang pertama akan saya kenalkan. Perkenalan kami terjadi di hari pertama menjadi mahasiswa. Tepatnya di kantin, saat kami secara bergantian izin pada dosen, untuk ke toilet lalu tak kembali lagi. Kesamaan idealisme (sama-sama tak suka pada dosen pendongeng) yang membuat kami sejak detik itu hingga detik ini, berkongsi dengan erat.
Berbeda dengan Didit. Anuar, kawan (juga mahluk garib) yang satu ini terlihat seperti anak rumahan dengan segala ketinggian budi pekertinya. Baru setelah dua bulan saya dan Didit jalan bareng, angin membawa Anuar untuk ikut nongkrong dan menjadi kawan akrab kami. Bahagia benar rasanya, saya dan Didit kini memiliki teman baru yang bertingkah lebih manusiawi dibanding kami berdua. Hal yang kemudian amat saya sesali, sebab Anuar ternyata seorang raja iblis yang turun ke Bumi.
Sejak itu, kami bertiga menjadi penghuni tetap di kantin kampus. Saat dosen dengan berapi-api mengisahkan kehebatan dan pengalamannya yang membuat mahasiswa serasa di-Nina Bobo-kan. Maka, bisa ditebak jika kami bertiga sudah kabur ke kantin, untuk bergumul dengan kopi hitam serta asap tembakau.
Di kantin kampus, kami sering bertukar pendapat tentang dosen yang lebih memilih untuk terus mengoceh tanpa memberikan kesempatan pada mahasiswanya untuk mengutarakan pendapat. Mungkin, si dosen berpikir jika dengan seabrek gelarnya, maka hak untuk berargumen mutlak menjadi miliknya. Peduli setan mendengar celotehan mahasiswa. Toh, mereka hanyalah kumpulan bocah yang menunggu untuk disuapi ilmu dengan sedikit bumbu retorika biar sedap. Sangat sedikit kesempatan yang diberi pada mahasiswa selaku penerus bangsa, untuk beradu argumen demi terciptanya suatu solusi untuk kemaslahatan bersama. Ah, mereka itu tidak sedang mengajar. Mereka sedang bermonolog. Ujarku, disambut senyum kecut oleh Anuar dan Didit.
***
Anuar datang dari daerah perbatasan Indonesia dengan Malaysia, Nunukan. Dari ceritanya, dia dibesarkan dengan budaya Malaysia. Jangan heran jika namanya Anuar bukan Anwar. Sebab, dia memang lahir dan tumbuh di Malaysia. Menurutnya, orangtuanya ingin agar dia lebih dekat dengan kampung halaman serta budaya asli kedua orangtuanya. Maklum, Ayah dan Ibu—Anuar—berasal dari Pinrang dan Bone.