Net Zero Emission menjadi isu yang cukup sexy untuk dibahas, setelah isu tentang meningkatnya suhu bumi, meningkatnya permukaan laut dan gong nya adalah perubahan iklim yang menyebabkan bencana alam. Hal ini dibuktikan bahwa selama 50 tahun terakhir bencana akibat iklim sudah menyebabkan sekitar dua juta orang dan kerugian ekonomi global sebesar USD 3,6 triliun. Dalam penyikapi hal tersebut, pemerintah Indonesia juga berkomitmen untuk berperan dalam penurunan emisi gas rumah kaca dalam rangka net zero emission sesuai dengan Nationally Determined Contributor (NDC).
Dilansir dari laman https://ebtke.esdm.go.id dalam artikel yang berjudul Indonesia Berkomitmen Capai Net Zero Emission, Kementrian ESDM dengan Kementrian LHK sedang menyusun komitmen zero emission dengan implementasi program pemberhentian pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Uap sebanyak 53 GW di tahun 2025-2045. Di lain sisi pada tiga tahun awal pemerintahan jokowi sudah menjalankan pembangunan proyek 35.000 MW, dengan target pebangkit teralisaikan 17.000 MW pada akhir 2019 dan dilanjut hingga 2024.
Sebuah kebijakan yang sangat kontradiktif, dengan alasan sebagai suplai industri dan kebutuhan masyarakat akan konsumsi listrik yang terus meningkat. Padahal seperti yang diungkap oleh watchdoc documentary dalam salah satu filem  berjudul "Sesak-Kisah Mereka yang Tumbuh Bersama Energi Kotor" produksi listrik indonesia sebenarnya sudah cukup dalam memenuhi kebutuhan listrik dalam negeri, selain itu regulasi monopoli PLN juga menjadi bumerang yang menyebabkan EBT tidak bisa berkembang menjadi energi alternatif, padahal sekarang sudah banyak masyarakat yang sudah menaruh "awarness" mengenai penggunaan energi ramah lingkungan.
Selain Energi Fosil yang biasanya menjadi kambing hitam dalam terjadinya efek rumah kaca, sektor lain yang menyumbang gas efek rumah kaca yang cukup besar adalah bidang pentanian dan peternakan dengan masing-masing perosentasi untuk pertanian sekitar 10-12% dan peternakan 18-51%.
Gas metana yang diproduksi dari pertanian dan peternakan mampu menyyebakan penurunan oksigen sampai dengan 19,5% pada kadar lebih tinggi bisa menyebabkan kebakaran dan ledakan apabila bercamur dengan udara. Prosentase dan dampak yang cukup besan dari bidang tersebut membuat tidak afdol rasanya jika kebijakan dalam rangka mencapai Net Zero Emission hanya berfokus pada pengunaan EBT saja. Untuk itu perlu adanya sebuah kebijakan yang kongret dalam komitmen Net Zero Emission, ada dua hal yang berlu diselesaikan dalam upaya mengurangi dapak rumah kaca yang sudah kita rasakan dampaknya.
- EBT (Energi Baru Terbarukan). EBT yang juga sudah menjadi komitmen Kementrian ESDM dan LHK dalam praktinya masih terlampau minim, hal ini dapat dilihat dari presentasi  pemgunaan bahan bakar fosil di pembangkit listrik, pada tahun 2020 pengunaan energi kotor batu bara PLTU mencapai 50% dengan kapasitas 31.952 MW sedangkan energi lain seperti PLTA 8% dengan kapasitas 5,174 MW, PLTP 4% dengan kapasitas 2.443 MW, PLTG/MG/GU/D 37 % 23.438 MW dan PLT EBT lain 1% dengan kapasitas 329 MW (bersihkanindonesia), dengan demikian harusnya Indonesia mulai membuka mata dengan pemanfaatan EBT sebagai penopang sumber energi negara, banyak sekali potensi yang bisa dimanfaatkan meliat kondisi geografi Indonesia, mulai dari yang skala kecil seperti PLTmicro hidro, yang bisa menjangkau area terpencil yang mempunyai potensi luar biasa bagi ketahanan energi Indonesia.
- Pertanian Modern. Sektor yang akan terus dibutuhkan seiring pertambahan jumlah penduduk adalah pertanian, tak heran pemerintah sering mengemborkan masalah swa sembada pangan, yang sudah menjadi kampanye sejak berdirinya NKRI. Pada pemerintahan Presiden Jokowi program food estate, Â yang justru bisa membuat indonesia semakin mendukung krisis iklim, pada pertengahan tahun 2020 pemerintah menyiapkan 2,3 juta hektar lahan pertanian baru di sumatera utara, kalimantan tengah, papua, dan Nusa tenggara timur dengan anggaran 1,2 T (tempo), salah satu dampak yang nyata adalah pembukaan 600 hektar hutan di gunung mas, kalimantan tengah melepaskan minimal 250 ribu ton emisi karbon. Sudah saatnya pemerintah harus berani mengembangan teknologi pertanian atau peternakan modern dengan mengoptimalkan lahan, yang sudah ada. Ada beberapa alternatif yang bisa digunakan seperti pertanian dengan sistem hidroponik dalam ruangan yang bisa menguransi pengunaan bahan kimia dan menghemat air, permaculture pada area bekas tambang dan lain sebagainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H