Di antara mereka, 2.800 karyawan dapat dibagi menjadi tiga kelompok sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan di perusahaan. Kelompok pertama disebut personel manajemen, kelompok kedua adalah teknisi pabrik, dan yang ketiga adalah pengawas. Delanggu, sebuah perusahaan manufaktur karung goni, biasanya mendatangkan pekerja dari daerah Klaten dan beberapa daerah sekitarnya lainnya. Konsentrasi kegiatan usaha di Delanggu menyebabkan sebagian besar tenaga kerja keluar dari kawasan Delanggu. Sekitar 80 persen pekerja pabrik adalah laki-laki, 15 persen perempuan, dan 70 persen dari seluruh . pekerja sudah menikah.22  Kekalahan Belanda oleh Jepang mengakibatkan seluruh wilayah Hindia Belanda jatuh ke tangan pemerintah Jepang.
   Akibatnya, pada awal tahun 1943, Delanggu, sebuah pabrik karung goni, diserahkan kepada pemerintah Jepang, dan Nanio Kahatso ditunjuk sebagai penanggung jawab perusahaan tersebut. Di Jepang, karung goni tidak hanya digunakan sebagai pembungkus gula dan beras, tetapi juga sebagai pakaian. Orang melakukan ini karena pakaian adalah komoditas mahal selama pendudukan Jepang. Penggunaan tas goni dalam pakaian menimbulkan risiko banyak penyakit kulit menular karena struktur tas goni kasar, berat dan kaku. Akibat perkembangan selanjutnya, pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan tentang pendaftaran kantong tebu dan larangan penjualan, pembelian, dan pemindahannya. 23 Salah satu isi perintah tersebut menyatakan bahwa orang yang memiliki lebih dari 10 kantong senjata harus melaporkan hal ini dan mendaftar ke pemerintah, serta informasi tentang kegunaan kantong senjata tersebut. Kebijakan menunjukkan nilai karung goni selama Jepang.
C. Â Dampak Bagi Masyarakat Delanggu
  Keberadaan ekonomi perkebunan di pusat perekonomian subsisten di Jawa menciptakan peluang ekonomi yang penting bagi masyarakat pedesaan pada umumnya. Namun, seluruh situasi berubah dengan ekonomi moneter. Di sisi lain, petani yang memiliki tanah harus bekerja untuk panen. Oleh karena itu, para petani tidak memiliki cukup waktu untuk menggarap lahan mereka. Berkurangnya lahan yang diusahakan untuk pangan akibat sewa lahan perkebunan menyebabkan kurangnya pendapatan bagi petani. Untuk mendapatkan penghasilan tambahan, sebagian besar petani menjadi buruh perkebunan atau pabrik. Pengambilalihan lahan pertanian untuk perkebunan melalui sewa lahan juga mempermudah mencari pekerjaan bagi pemerintah kolonial Belanda dan . perusahaan perkebunan. Krisis di daerah Delanggu tidak berlangsung lama karena pada tahun 193 pemerintah Belanda membudidayakan tanaman Roselle di daerah Delanggu dan mengubah bekas pabrik gula menjadi pabrik karung goni. Upaya pemerintah mengembangkan karung goni di Delanggu dapat meningkatkan perekonomian masyarakat karena dapat menciptakan . lapangan pekerjaan di wilayah Delanggu.
   Berdirinya perkebunan Roselle dan dimulainya pabrik karung goni pada tahun 1938 mampu mengurangi jumlah pengangguran setidaknya di daerah Delanggu itu sendiri. Aktivitas pabrik tas tersebut membuat perekonomian Kota Delanggu kembali pulih pasca terjangkit penyakit tersebut. Namun, perkembangan perkebunan Roselle dan produksi pabrik karung goni Delanggu memberikan pengaruh yang lebih positif bagi penguasa sejak masa penjajahan Belanda hingga kemerdekaan Indonesia. Industri tas membantu pemerintah untuk mengurangi biaya devisa impor tas goni dari negara-negara produsen seperti Pakistan dan Bangladesh. Penggunaan karung goni produksi dalam negeri mengurangi ketergantungan pada goni impor dari negara lain. Sementara di sekitar pabrik berdampak positif bagi perkembangan ekonomi, namun justru berdampak negatif bagi masyarakat. Pengaruh negatif upah karyawan sangat kecil, karena tidak sebanding dengan energi yang dikonsumsi. Ketersediaan perkebunan rosela yang memenuhi kebutuhan serat pabrik kantong menyebabkan peralihan dari budidaya padi lokal ke perkebunan rosela. Pasalnya, pemilik tanah harus bergantian menyewakan .
   Kondisi sosial masyarakat Delanggu pasca malaise tercermin dalam industri Pabrik Karung Goni Delanggu. Keberadaan industri karung goni di Delanggu memberikan dampak sosial yang besar bagi masyarakat Delanggu dan sekitarnya. Efeknya terutama pada hubungan kerja di penanaman bunga mawar dan di pabrik tas meriam, tetapi juga dari orang ke kelompok. Kegiatan pabrik tersebut menimbulkan perubahan sosial yang cukup mengesankan, baik dampak positif maupun negatif bagi kehidupan masyarakat di sekitar perusahaan tersebut. Salah satu dampak dari industri karung goni di Delanggu adalah adanya kesenjangan kelas antara pekerja pabrik dan pekerja administrasi. Setelah penjajahan Belanda, masyarakat Delanggu selalu berada pada kelas sosial terbawah. Masyarakat Delanggu hanya menggunakan tenaganya untuk bekerja di perkebunan, mulai dari buruh perkebunan, panen dan angkut serta buruh pabrik gula.
  Saat industri kain karung diserahkan kepada pemerintah Delanggu, ternyata jumlah buruhnya tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Disparitas tingkat pendapatan pekerja dan pelayanan yang diterima sangat mencolok, terutama antara pekerja dan pekerja. Kelemahan di bidang sosial ekonomi dimanfaatkan dan dijadikan landasan bagi partai politik untuk memobilisasi buruh untuk mogok menuntut kesejahteraan. Kemerdekaan nasional membuat perlawanan terhadap imperialisme Barat tidak berarti dalam arti fisik dan nasional. Pemikiran kiri lebih fokus membongkar ketidakadilan struktural masyarakat Indonesia. Kemiskinan masyarakat di kawasan pemukiman Surakarta menjadi potensi yang bisa mengembangkan gerakan kiri pada masa kemerdekaan. Gerakan buruh yang semakin kuat melahirkan berbagai aksi revolusioner yang menuntut pemerintah segera mengambil tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda yang masih beroperasi di Indonesia. Pengambilalihan juga dilakukan untuk perusahaan penanaman rosela dan pabrik karung goni di Delanggu. Hal ini terlihat dalam gerakan anti-Swapraja tahun -1946 di Surakarta dan pemogokan kantong senjata tahun 1948 di Delanggu.
D. Â Kesimpulan
   Klaten merupakan daerah pertanian dengan lahan yang subur dan luas. Sebagian besar wilayahnya merupakan dataran rendah dengan jenis tanah yang cocok untuk budidaya dan penanaman. Selain gula dan tembakau, Afdeling Klaten juga memiliki beberapa tanaman lain seperti kakao, nila, serat dan tanaman lainnya. Kecamatan Delanggu merupakan salah satu kecamatan di Afdeling Klaten yang memiliki tanah subur dan potensi alam untuk pengembangan usaha pertanian dan perkebunan. Kabupaten Delanggu memiliki elemen penting seperti lahan yang luas, irigasi yang melimpah sepanjang tahun, iklim yang baik, lokasi yang strategis, tenaga kerja yang tersedia dan akses transportasi yang mudah. Hal inilah yang melatarbelakangi berkembangnya Delanggu dari desa menjadi kecamatan onder bahkan salah satu dari . kecamatan Afdeling Klaten.
   Pemerintah Belanda memulai produksi karung goni Delanggu setelah malaise tahun 1930-an untuk terus memanfaatkan potensi daerah tersebut. Pada tahun 193 , pemerintah kolonial Belanda mulai membudidayakan tanaman rosella di bekas perkebunan tebu. Pada tahun 1938, pabrik karung yang merupakan konversi dari pabrik gula memproduksi karung goni pertama yang siap dipasarkan. Perkembangan industri karung goni di Delang telah mengalami banyak perubahan pemerintahan mulai dari pendudukan kolonial Belanda, pendudukan Jepang, revolusi kemerdekaan Indonesia, orde lama hingga orde baru. Meski demikian, kebijakan setiap pergantian pemerintahan tidak pernah berpihak pada petani atau buruh. Kebijakan upah dan sewa tanah selalu merugikan orang dan hanya menguntungkan kelompok tertentu.
  Cara-cara kolonial yang masih digunakan lebih berdampak negatif bagi masyarakat. Berbagai kalangan memanfaatkan kondisi sosial dan ekonomi negara dan masyarakat Delanggu yang tidak stabil untuk mencapai kepentingan politiknya. Situasi ini memperburuk efek dan hanya menghambat perkembangan industri karung goni di Delanggu. Setelah pemerintah Indonesia mengambil alih perusahaan karung senjata hingga tahun 1968, perkembangan industri karung goni di Delanggu tidak banyak berkembang. Penurunan produksi dan perusahaan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti kurangnya campur tangan pemerintah dalam promosi industri karung goni Delanggu dan manajemen perusahaan yang masih menggunakan cara kolonial tanpa inovasi. Hal ini diperparah dengan adanya bencana politik nasional pasca 1965 yang memaksa perusahaan tutup selama 2 tahun, serta pergantian personel secara besar-besaran yang memaksa Delanggu untuk memulai kembali bisnis karung goni.