POLITIK MILITER PASCA PERANG KEMERDEKAAN 1950-1952
              PEMBUKA
Memasuki tahun 1950, dua peristiwa penting dicatat. pertama, Konstitusi diubah dari Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia, Amerika Serikat. 2.Â
Meninggalnya Kepala Staf APRIS, Letnan Jenderal (sebelumnya Panglima APRI) Panglima kharismatik Sudirman, 29 Januari 1950 Digantikan oleh Kolonel T.B. Simatupang menjabat sebagai pemegang jabatan KSAPRIS. sejak Simatupang menjabat sebagai KSAPRIS, ia terseret ke dalam berbagai kesulitan pelik karena ide dan kebijakan.
Reaksi pertama adalah dia dianggap mengabaikan Pesan Panglima saat memimpin Komite Militer di KMB. Sudirmantelah memerintahkan resolusi angkatan bersenjata di Yogyakarta,Bukan di Den Haag.Â
Untuk Simatupang Sudirman, pesannya sangat beratImplementasinya, karena desakan politisi yang cenderung mengubah wajah TNIMenghadapi Tentara Revolusi, menjadi TNI profesional dalam organisasi baruKemudian diberi nama APRIS. Politisi, khususnya perwakilan KMB, cenderungmenerima usul pemerintah Belanda untuk membentuk angkatan bersenjata baru,Melalui pengalaman:
1. Amalgamasi TNI dengan mantan KNIL 1
2. Melakukan reedukasi prajurit TNI
3. Pengiriman calon perwira untuk dididik di pendidikan militer di negeri Belanda
Disepakati bahwa pendidikan ulang dan pendidikan calon perwira akan dilakukan oleh misi Militer Belanda (MMB) selama tiga tahun. dukung keinginan ini oleh para pemeran utamanya, terutama dr. Memimpin delegasi Indonesia ke Mohada di KMB, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Koordinator DHS, Kolonel T.B. Simatupang, Kolonel Subiyakto, Komodor Suryadarma dan Kolonel Nasution.
Pala Kolonel tingkat akademi militer menginginkan standar APRIS baru, yaitu Modern dan profesional. Keinginan mereka didukung oleh beberapa partai politik Dipimpin oleh Partai Sosialis Indonesia (PSI). 3. Target penawaran menjadi Program Kabinet RIS dipimpin oleh Moh. Meski begitu, antara lain:
"Mengusahakan reorganisasi KNIL dan pembentukan APRIS dan pengembalian tentara Belanda ke negerinya dengan waktu yang selekas-lekasnya (Deppen, 1970, hal.11)"
Reaksi terhadap rencana pemerintah ini datang dari komandan unit Dari kepala divisi ke kepala unit bawahan, umumnya dari Mantan prajurit Peta. Mereka didukung oleh tokoh nasional presiden RIS, Sukarno, pemimpin partai Morba.