Mohon tunggu...
Adnan Halim Husni
Adnan Halim Husni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Si Imajiner Dunia Kosa kata

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dapatkah Budaya Konsumerisme Merusak Moral Santri di Lingkungan Pesantren?

13 April 2024   20:44 Diperbarui: 13 April 2024   21:19 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Konsumerisme adalah istilah yang sering didengar dan dikaitkan dengan hal-hal negatif dalam sisi konteks sosial dimana terdapat perilaku konsumerisme yang menjadi pusat atau tolak ukur dalam kehidupan bermasyarakat. Akan tetapi dalam konteks budaya Indonesia yang masyarakatnya masih banyak belum mencapai kata sejahtera atau mampu dalam segi ekonomi, dapatkah terpengaruh oleh para perilaku konsumerisme tersebut?, lebih menariknya lagi bagaimana konsumerisme ini memengaruhi kaum pelajar khususnya di ruang lingkup pesantren yang latar belakangnya adalah hidup sederhana?. dan dapatkah merusak sisi perspektif pesantren yang ingin menbangun sikap moral yang baik dan keagamaan yang keberlanjutan?. mari kita ulas bersama !  

Peristiwa yang sering kita lihat dimasyarakat adalah kesetimpangan sosial antara si kaya dan si miskin. Kesenjangan ini dapat menjadi konflik dalam berbagai kegiatan yang terjadi, bisa jadi terjadi perilaku rasisme dan egosentrisme yang ekstrim dan dapat memengaruhi orang lain dari segi psikologis.

Dari segi sosial orang kota, sekian banyak kita melihat informasi dan berita aktual yang menyeret ke perilaku konsumerisme ini. Seperti yang terjadi di dunia teknologi gadget. "hp kalian masih pakai merek ini miskin dong!, pakai merek yang ini dong! kelihatan kaya (kece) bukan". Kata kata di atas merupakan salah satu contoh perilaku konsumerisme yang mengakibatkan pikiran orang lain berubah dan jika orang lain tersebut masih belum dikatakan orang yang mampu dan terpengaruh dengan ucapan yang telah kami sebutkan, maka akan memicu pergolakan sosial yaitu pemenuhan kebutuhan yang sama dengan cara kriminalitas.

Pergolakan sosial yang memicu kriminalitas tersebut bisa sangat terjadi didunia pendidikan, khususnya pesantren. Faktor yang memengaruhi santri bisa beragam, mulai dari lingkungan sekitar, pengaruh globalisasi, pengaruh teknologi dan yang paling penting adalah pengaruh teman sebaya.

Interaksi santri dengan teman sebayanya dipesantren sangat mempengaruhi sekali. Karena mereka hidup dilingkungan yang sama dengan pembelajaran yang sama, organisasi yang sama, merasakan susah dan senang bersama. Interaksi tersebut mengakibatkan pengaruh atau doktrin dari sisi eksplisit yang sangat vulgar dan implisit bisa terjadi tanpa disengaja di dunia pesantren. Dan memang peraturan didunia pesantren tidak sesederhana itu. Biasanya sikap konsumerisme banyak terjadi di pesantren yang berlatar kata "modren" dibelakangnya dan malah minim sekali terjadi di pesantren "salaf" yang memang benar-benar menghindarkan santrinya terkena kontak dunia teknologi dan globalisasi. contoh sepeti tidak diperbolehkan memegang handphone agar fokus terhadap pembelajaran agama.

Kriminalitas yang terjadi di pesantren "bisa saja" karena memang dari budaya konsumerisme yang masif atau memang "benar-benar karena perilaku konsumerisme" atau karena faktor dan hal-hal lain. Akan tetapi kami ingin fokus terhadap budaya konsumerisme ini. Sebagai contoh dari segi impilisit yang jarang diketahui pihak pondok adalah dari segi berpakaian. "Baju-baju bagus yang mewah yang dibawa kepesantren itu dapat membuat orang lain terkesan, terkesima dan membuat orang lain merasa ingin memiliki karena gengsi semata." Sikap inilah yang bisa saja membuat orang lain menjadi iri dan dengki.

Contoh yang lain adalah "wali santri yang mampu mengirim makanan dalam jumlah besar sehingga orang lain merasa ingin seperti itu. ini bisa saja terjadi dua kemungkinan. pertama, santri yang ingin makan tersebut dapat memberatkan orang tuanya jika tidak mampu dan kedua, adanya pemerasan antara teman sebaya maupun senior jika tidak mau berbagi. Dan biasanya orang yang tidak mampu dalam segi ekonomi adalah orang orang yang melakukan kriminalitas yaitu dengan mencuri dan pemerasan serta perundungan dikarenakan ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan hasratnya.

Walau begitu sebenarnya lingkungan pesantren sudah sangat mengatisipasi hal-hal tersebut walau terkadang tidak bisa dihindari secara eksplisit. Gaya hidup santri itu memanglah diajarkan untuk hidup bersama dengan berbagai aspek yaitu kebersamaan yaitu merasakan rasa senang dan susah bersama". Kesederhanaan, tidak berlebihan dalam tata cara hidup seperti berpakaian, makan dan fasilitas sehari-hari. Kontrol diri dalam upaya mengendalikan hawa nafsu seperti iri, dengki dan terutama gengsi. Pengalihan fokus untuk belajar agama bukan kepada dunia luar yang materialis.

Dampak yang memang terasa memanglah pada kesetimpangan sosial yang mempengaruhi psikologis santri dalam berbagai kesempatan dan lebihnya lagi santri jatuh kepada sikap boros dan kehilangan motivasi karena merasa sudah memiliki materi atau harta yang cukup sehingga tidak memikirkan masa depannya. Padahal hal-hal diatas sangatlah dijauhi dan sangat dihindari dilingkungan pesantren.

Lalu, apakah perilaku konsumerisme ini selalu buruk?. Tentu tidak selalu, hal positifnya adalah peningkatan kualitas hidup seseorang. Walau dari segi sosial tidak selalu menyetujuinya akan tetapi konsumerisme itu bisa saja sebagai sarana bagi seseorang yang memang menyukai beberapa hal, seperti karena hobi dan lainnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun