Beberapa waktu yang lalu, Penulis berkesempatan untuk mengikuti program pelatihan dan diskusi mengenai Perpajakan Internasional di Tokyo, Jepang. Dalam kegiatan yang diselenggarakan Japan International Cooperation Agency (JICA) itu, Penulis mengunjungi Kantor Wilayah Pajak Metropolitan Tokyo di Tokyo dan Kanto-Shinetsu di Prefektur Saitama. Di sana terdapat divisi khusus yang menangani APA. Tugas pokok dari Divisi ini adalah melakukan perjanjian dan penentuan kriteria, harga, dan laba yang wajar dengan perusahaan-perusahaan yang rentan terhadap praktek transfer pricing. Tujuan dari APA ini, selain untuk mengantisipasi praktek transfer pricing, juga untuk memberikan sarana dan kepastian hukum kepada wajib pajak dalam hal penentuan harga transfer.
Program APA ini ternyata sangat efektif dalam mengantisipasi praktek transfer pricing di Jepang, bahkan dapat menghindari terjadinya sengketa pajak antara otoritas pajak setempat dengan wajib pajak. Praktis selama dilaksanakannya program APA ini, tidak ada satu pun sengketa pajak yang terkait dengan transfer pricing. Penulis sempat berandai-andai, apabila di Direktorat Jenderal Pajak Indonesia memiliki Divisi APA, tentu sengketa transfer pricing tidak perlu berlanjut hingga ke Pengadilan Pajak, sehingga beban perkara di Pengadilan Pajak akan berkurang. Indonesia sebenarnya telah mengadopsi APA dalam Undang-undang Perpajakan, namun demikian harus diakui pelaksanaannya belum optimal. Hal ini bisa diketahui dengan masih banyaknya kasus dan sengketa pajak yang terkait dengan transfer pricing.
Akhir kata, potensi penerimaan pajak di Indonesia sesungguhnya masih sangat besar, namun belum bisa terealisasi secara maksimal. Penyelesaian terhadap permasalahan tersebut tentu tidak semudah yang kita bayangkan, diperlukan keinginan kuat dan kerjasama yang lebih baik dengan pihak-pihak terkait. Masih diperlukan perubahan struktur, sistem, dan prosedur teknis dan administrasi, serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan para aparat pajak.