SEPOTONG MIMPI MALAM INI
(Adma Winarko)
Kulihat potret sepasang pengantin di dinding kamar. Lalu kutujukan pandangan kepada pengantin pria. Sesaat tumbuh kesadaran diri bahwa Potret itulah yang menandai awal kisahku. Benda yang kupungut dari tumpukan barang bekas di gudang rumah, entah siapa yang menaruh disana padahal menurutku benda itu masih layak untuk dipajang.
Bagiku potret itu satu-satunya benda yang dapat memberi kedamaian serta membuatku tenang untuk sementara waktu. Kala aku berada di dalam kamar ini. Karena selalu saja disaat seperti ini berbagai keresahan muncul layaknya bintang di malam terang. Menghiasi langit-langit hatiku. Sesekali kubenamkan kepalaku di bawah bantal kemudian sekuat mungkin aku berusaha untuk melarikan diriku menuju tidur. Hal yang aku lakukan ketika sudah kehilangan cara mengobati keresahan diriku sendiri.
Ditengah pelarianku menuju tidur terdengar suara hujan yang sudah sedari sore mengguyur. Derasnya air yang turun ke tanah menderu-deru. Hingga dentuman tetes air dipermukaan tanah membentuk irama dengan alunan yang menyayat. Dari sini aku berusaha memahami jawaban ibu. Jawaban yang memantik munculnya berbagai keresahan diriku malam ini. Sebuah jawaban yang sulit berterima dengan keyakinanku. Semua bermula dari pertanyaanku kepada ibu tadi sore. Ibu yang pulang dari bekerja sedang merebahkan lelah di kursi ruang tamu.
” ibu, masih cinta sama bapak?
Lalu Ibu jawab,”masih”.
Terus kenapa mau nikah lagi?,
Ibu jawab,”cinta bukan satu-satunyanya hal yang dibutuhkan dalam sebuah pernikahan ada banyak hal lagi yang kamu belum tahu”.
Seperti apa bu?, aku masih menyeka keraguanku dengan pertanyaan kepada ibu.
“Ada dan bersama”, Jawab ibu singkat dan membungkam mulutku.
Jawaban itu seperti perintah agar aku segera mengakhiri pembicaraan. Tanpa ada kesepakatan atas jawaban dari pertanyaanku. Jika terus-terusan kami berbicara. Yang terjadi adalah keributan diantara kami berdua.
Sampai malam ini aku masih di dalam kamar. Menyelesaikan tanggung jawabku untuk mencari sendiri kebenaran jawaban ibu. Aku ditemani bayangan-bayangan indah kehidupan keluargaku saat bapak masih di rumah.
Aku hanya belingsatan di dalam kamar. Perlahan mataku tertutup tidur. Sayup-sayup Seperti ada suara bapak diantara deru suara deras hujan, bapak sedang bernyanyi langgam yang biasa ia nyanyikan untuk menidurkanku sewaktu kecil,
”tak lelo lelo lelo lelo ledung, cup menengo ojo kijer nangis, anakku sing bagus rupane, yen nangis ndak ilang baguse”.
“Bapak, pak. Pak...”, Panggilku kepada seorang laki-laki yang duduk di taman bunga.
Pakaian lelaki itu serba putih diantara bunga-bunga yang berwarna-warni. Wajahnya bersih matanya sayu seperti seorang yang sedang memikirkan sesuatu. Laki-laki itu hanya diam saat aku memanggilnya. Tapi aku yakin itu Bapakku yang sekian lama pergi dari rumah. Aku berlari mencoba mendekatinya agar bisa kuajak dia pulang ke rumah. Namun saat aku berusaha menghampiri bapak. Sepertinya selalu saja jarak tak pernah menjadi dekat malah perlahan makin menjauh. Kerinduanku pada sosok bapak memaksaku untuk terus mendekat. Tiba tiba ditengah ku berusaha mendekati bapak, malah seperti gerak levitasi aku berjalan di udara. Bapak melihatku dia tersenyum dan melambaikan tangan.
“Oh, Tuhan...”, Kata yang terucap dari mulutku.
Aku mengambang, tepat melayang-layang diatas tempat duduk bapak. Kulihat kepalanya dari atas. Di ubun-ubunya ada semacam lubang yang memunculkan tayangan. Ada tayangan wajahku, wajah adik perempuanku dan wajah ibuku. Kulihat tayangan-tayangan itu berputar bergantian. Semakin cepat tayangan-tayangan itu berganti-ganti hingga membuat pusaran dan menyedot aku ke dalam tempat darimana tayangan itu berasal. Secepat kilat aku sudah berpindah tempat berada di dalamnya. Tubuhku seperti dilempar dan aku lihat tayangan-tayangan itu di hadapanku, diatasku, samping kanan kiriku. Sekarang seluruh tayangan itu hanya memunculkan wajahku. Berbagai wajah-wajahku mulai dari wajahku saat kecil hingga kini terpampang disetiap sudut mataku melihat.
Tiba-tiba terdengar suara orang menangis. Jelas sekali terdengar, Seperti begitu dekat bibir yang sedang mengisak tangis itu dari telingaku. Aku mengenal suara ini. Kuhela nafas panjang, dan
”hah...”
Kuterbangun dari mimpi dan betapa kagetnya ternyata suara tangis itu adalah tangis ibu. Dengan sigap kuhapus air matanya. Kuceritakan pada ibu mimpi yang baru saja aku alami. Ibu mendengarkan sambil merunduk dan tak berhenti menangis. Ibu sedang mengingat suaminya yang telah pergi. Sesekali ia mengisak dan menyeka air matanya sendiri. Akupun ikut menangis, kemudian kuucap maaf dan kuciumi tangannya karena aku merasa bersalah atas kejadian tadi sore.
Aku melihat ibu sudah bermukena. Ia masuk ke dalam kamarku karena hendak membangunkanku dari tidur. Mengajakku shalat malam mendoakan suaminya. Karena tepat pada tanggal di dini hari ini adalah hari naas bagi bapakku. Waktu itu di akhir dua ribu sembilan menjelang awal dua ribu sepuluh. Dari dalam ambulance suara terompet dan petasan mengaung-ngaung silih berganti. Seperti mengatakan malam itu mereka berkuasa dan malam itu pula mereka menjadi raja.
Namun ditelingaku yang benar-benar terdengar hanyalah suara sirine ambulance dan surah-surah dari mulut ibuku. Dengan terbata-bata ibu berdoa dan sesekali diselingi isak tangis. Namun ia tetap bacakan lafal-lafal Allah untuk suaminya.
Di depanku terbujur tak berdaya seorang laki-laki yang dari kecil kupanggil bapak. Kemacetan jalanan membuatku ikut menangis. Tuhan, haruskah kami mengalah pada mereka. Tak sedikitpun mereka membagi ruas jalan untuk kami yang menuju rumah sakit. Akhirnya setelah dua jam perjalanan kami tiba di sebuah rumah sakit islam swasta di Kota Semarang. Bapak langsung dibawa masuk ke dalam ruang satu tingkat diatas ICU. IICU.
Aku hanya diperbolehkan memandangi dari luar kaca. Kulihat satu persatu selang masuk ke dalam tubuhnya. Ada selang yang berasal dari infus, dari penyedot kotoran paru paru dan masih banyak lagi yang aku tak tahu nama-nama alat itu. Juga berbagai warna kabel yang menuju ventilator pun terpasang di tubuhnya yang terbaring. Mataku terpejam tak mampu melihatnya. Kujauhkan mataku dari kaca itu. kulangkahkan kaki untuk pergi.
***
Seminggu setelah bapak dirawat aku kembali menjemputnya. Kali ini Kubuka sendiri pintu ambulance. Hal yang sengaja aku pinta dari petugas rumah sakit . Aku tak menangis. Awal dan akhir akan selalu berdekatan. Kudorong Bapak ke dalam sebuah ambulance lagi. Dia telanjang hanya ditutupi kain putih dan akhirnya dia Pulang. Innalillahi wa innailaihiroji’un. Selamat jalan bapak, akan kuteruskan perjuanganmu.
-----
sastraindonesia16@yahoo.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H