Mohon tunggu...
Atrasina Adlina
Atrasina Adlina Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seorang diver dan journalist,, bercita-cita menjadi seorang scientist. saat ini berorientasi untuk menulis karya ilmiah, jalan-jalan, dan bersenang-senang. rencananya mau menjadi seorang menteri kelautan. :)

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Mewarisi Musik Jazz dan Tradisi Bali

14 Agustus 2015   14:39 Diperbarui: 14 Agustus 2015   14:39 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komunitas Salihara membuat acara musik yang berbeda dengan acara musik biasa. Dengan tajuk Forum World Music Salihara, kegiatan ini diselenggarakan dari tanggal 5 – 9 Agustus. Saya datang kesini karena diajak oleh senior saya, kak Idham Malik. Keinginan kami untuk nonton konser musik lebih kepada mengisi kekosongan hati. Kami berpendapat bahwa bermusik bisa menjadi sebuah ajang percakapan ‘conversio’.

Pukul 7 kami sudah berkumpul di Komunitas Salihara yang terletak di Jalan Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Tak hanya kami berdua, Hery, teman dari Identitas hadir dan bergabung. Kami pun memesan singkong goreng dan pisang bakar sembari menunggu waktu pertunjukkan dimulai. Ketika sedang mengobrol, tiba-tiba datang Dewa Budjana duduk di sebelah kami. Ingin foto bareng, tapi kok malu ya? Hahah. Akhirnya kami pun terus melanjutkan pembicaraan hingga akhirnya pertunjukkan dimulai.

Malam ini akan diisi oleh Balawan & Batuan Ethnic Fusion. Siapa yang tidak kenal I Wayan Balawan? Seorang pemain gitar dengan dua leher yang sudah terkenal hingga ke luar negeri. Ia mengembangkan gaya bermain gitar dengan teknik sentuhan dengan delapan jari yang juga dikenal sebagai touch tapping style. Kali ini ia bersama Batuan Ethnic Fusion memadukan musik dari tradisi Bali dengan fusion jazz.

Penampilan awal, penonton disuguhkan dengan kondisi Ubud di Bali. Seorang laki-laki yang berprofesi sebagai pengamen masuk ke dalam panggung. Kemudian disusul oleh penjual-penjual barang dagangan, tukang taxi, dan turis-turis. “Apa ada dagelannya terlebih dahulu? Atau semacam teater?” Pikir saya waktu itu.

Sang pengamen mempunyai humor-humor yang rada satir. Misalnya saja ketika si turis Belanda ini memperkenalkan diri, ia pun nyeloteh “orang dari negara Anda kan pernah nginap 350 tahun di Indonesia,” tawa penonton pun tergelak. Lain lagi ketika ia diminta oleh turis Indonesia untuk membawakan lagu dan hanya diberikan uang 2 ribu rupiah. “mau jadi apa musisi Indonesia kalau hanya dibayar murah?”. Humor satir yang disuguhkan membuat saya sadar bahwa penting untuk menghargai seseorang yang bermain musik.

Tak lama kemudian cerita pun berganti, si pengamen yang memperkenalkan diri sebagai Made mengajak seluruh pedagang dan turis untuk datang ke sanggar seninya. Disana pun mereka mencoba memainkan lagu-lagu. Penonton diajak untuk mendengarkan melodi dari gamelan tradisional Bali dipadu dengan permainan dari Made. Saya sudah curiga dari awal kalau si Made ini adalah I Wayan Balawan itu sendiri. Dan kecurigaan saya terbukti ketika lagu kedua, Made memainkan lagu dengan gitar dua leher. Tidak mungkin pemain pengganti menggunakan gitat dua leher.

Saya terpesona dengan alunan musik jazz yang dicampur dengan bunyi gamelan tradisional. Sangat mengagumkan! Bunyi-bunyian yang biasa saya dengar ketika berjalan-jalan pagi di daerah Pesanggaran, saya dengar secara langsung namun dalam bentuk musik yang berbeda. Alunan musik yang biasanya saya dengar lambat, kali ini saya dengar dengan tempo yang sangat cepat. Ketika ditanya kenapa begitu, “biar gak ketauan kalau salah, kalau lambat bisa keliatan kalau salah petik gitar,” ujarnya satir. Haha. Alasan yang bagus.

Balawan & Batuan Ethnic Fusion membawakan 11 musik. Saya paling suka dengan One Day I Will Make It. Cara permainan musik di pertunjukkan musik ini tergolong unik. Ada beberapa pemain yang tiba-tiba datang dan ikut berkontribusi pada musiknya. Misalnya si turis Bule Belanda yang ternyata jago bermain drum, si tukang jamu yang pintar menyanyi, dan turis Jepang yang jago menari. Sebenarnya semua pemain ini adalah anggota kelompok Batuan Ethnic Fusion. Kelompok ini dibentuk oleh I Wayan Balawa pada 22 Juni 1997 di tanah kelahirannya, Batuan, Gianyar, Bali. Salah satu tujuan pembentukan band ini adalah untuk mencapai level baru perpaduan antara musik etnik dan musik modern.

Dalam salah satu adegannya, Made ditanya kenapa memilih untuk memasukkan unsur gamelan tradisional dalam musiknya. Dengan enteng ia menjawab, “kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menjaga musik kita, nanti kalau diambil sama orang luar malah marah,” ujarnya. Saya merasa tertohok. Rasanya sudah lama sekali saya tidak mendengar musik-musik yang diciptakan dari angklung, gong, kelenting, dan alat musik tradisional lainnya. Kuping saya lebih terbiasa mendengar lagu-lagu barat yang penuh dengan entakan drum, bass dan gitar. Saya jadi merasa sedih.

Menurut saya ide Balawan untuk memadukan unsur jazz fusion dengan irama pentatonik gamelan Bali yang mistis sangat keren. Semoga semua musisi Indonesia memiliki ide dan keinginan yang sama untuk mewarisi keindahan musik tradisional. Maju terus Balawan!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun