Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), instruktur berarti adalah orang yang bertugas mengajarkan sesuatu dan sekaligus memberikan latihan dan bimbingannya [1]. Pemerintah melalui Permenristekdikti no. 2/2016 Tentang Registrasi Pendidik pada Perguruan Tinggi (PT) mengklasifikasikan pendidikan di pendidikan tinggi menjadi 3; (1) dosen, (2) instruktur, (3) tutor [2]. Menurut beleid tersebut, dosen adalah pendidik profesional/ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, serta menyebarluaskan iptek melalui tridharma pendidikan dan instruktur adalah pendidik yang menekankan pembinaan pada penguasaan aspek ketrampilan. Sedangkan tutor adalah pendidik yang diangkat untuk membantu dosen dan berfungsi memfasilitasi belajar mahasiswa. Baik dosen, instruktur maupun tutor sama-sama diakui sebagai pendidik, yang membedakan adalah dosen berperan mengajarkan teori lewat ceramah, dan instruktur berperan mengajarkan praktek lewat praktikum, sedangkan tutor berperan mengajarkan cara menyelesaikan soal melalui kegiatan tutorial.
Menilik peraturan lainnya, yaitu Permenristekdikti no. 44/2015 tentang Standar Nasional PT, dijelaskan bahwa kompetensi adalah seperangkat sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh peserta pidik setelah mempelajari suatu muatan pembelajaran, menamatkan suatu program, atau menyelesaikan satuan pendidikan tertentu [3]. Intisari dari peraturan ini adalah kompetensi adalah gabungan dari sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dari sini dapat dilihat bahwa kedua peraturan ini sebenarnya sudah selaras. Aspek pengajaran pengetahuan dilaksanakan oleh dosen, aspek pengajaran keterampilan dilaksanakan oleh instruktur dan aspek sikap diajarkan oleh keduanya. Jika dilaksanakan dengan baik, kedua peraturan ini menjamin PT menghasilkan lulusan yang kompeten, yaitu tahu, terampil dan memiliki sikap yang baik.
Menurut Malcolm Gladwell dalam bukunya Outlier, bila seseorang melakukan sesuatu selama 10.000 jam, besar kemungkinan dia akan ahli di bidang tersebut. Agar seseorang ahli di bidang kedokteran kira-kira ia harus melakukan pekerjaan dokter selama 10.000 jam, agar seseorang ahli di bidang keteknikan kira-kira ia harus melakukan pekerjaan keteknikan selama 10.000 jam, dan seterusnya. Jika sehari sesorang bekerja selama 8 jam/hari, 5 hari kerja seminggu, maka 10.000 jam kerja dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 5 tahun. Mengacu ke pendapat ini jika PT hendak mencari instruktur yang ahli, maka ada 2 hal yang dapat dilakukan. Pertama, PT bisa mencari orang yang minimal pernah bekerja di industri selama kira-kira 5 tahun. Demikianlah yang terjadi di Jerman, dimana syarat untuk menjadi pengajar di beberapa universitas (biasanya Universitas Sains Terapan/University of Applied Sciences/ Fachhochschule), adalah memiliki beberapa tahun pengalaman kerja yang relevan di luar universitas [4]. Kedua, PT bisa merekrut tenaga instruktur yang sama sekali terpisah dari dosen. Instruktur ini wajib bekerja di laboratorium atau bengkel PT atau magang di industri selama kurang lebih 5 tahun. Nantinya sang instruktur setelah 5 tahun dan dianggap ahli, baru sang instruktur mengajar keterampilan ke mahasiswa. Karena bukan dosen, maka instruktur ini dapat berkonsentrasi ke kegiatan pengajaran keterampilan (praktikum) dan secara hukum tidak memiliki kewajiban penelitian dan pengabdian masyarakat sebagaimana halnya dosen.
Jika cara pertama diterapkan di Indonesia, agaknya akan ada kendala. Kendala yang utama adalah disparitas remunerasi yang tinggi antara industri dan PT. Hal ini akan menghambat motivasi ahli dari industri untuk berpindah menjadi instruktur di universitas [5-6]. Namun demikian sebagaimana tagline aplikasi online terkemuka di Indonesia, “pasti ada jalan”, masalah ini dapat diatasi dengan mengiming-imingi remunerasi yang tinggi bagi sang ahli agar mau berpindah ke PT, atau menawarkan ahli dari industri untuk mengajar di PT secara paruh waktu. Sang ahli tidak perlu kehilangan pendapatannya di industri, namun tetap dapat membagikan keterampilannya di PT. Pendidik dengan model seperti ini tetap dapat didaftarkan ke Kemenristekdikti dan memiliki Nomor Urut Pendidik (NUP) bagi yang bergelar di bawah magister (S-2) atau Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK) bagi yang bergelar master S-2 ke atas. Bahkan jika praktisi dari industri ini mengikuti program Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) dan hasilnya kompetensinya setara dengan S-2, bukan saja sang ahli bisa mengajar keterampilan sebagai instruktur, melainkan juga bisa mengajar teori sebagai dosen. Hal ini sudah berhasil dilakukan di Politeknik Negeri Batam [7].
Cara kedua dengan merekrut tenaga pendidik instruktur sebenarnya sangat memungkinkan untuk dilakukan. Syaratnya hanya 1, yaitu PT mau memanfaatkan peluang yang terbuka ini. Negara sendiri sebagaimana dijelaskan sebelumnya sudah memfasilitasi dengan memisahkan proses pengajaran pengetahuan dan keterampilan. Pengajaran pengetahuan dilakukan oleh dosen, dan pengajaran keterampilan dilakukan oleh instruktur. Untuk instruktur, negara tidak mempersyaratkan kualifikasi pendidikan minimalnya asalkan memiliki kompetensi dan dapat mengajarkan keterampilannya.
Namun disayangkan ada beberapa PT yang mencampuradukkan kedua hal ini. Baik pengajaran pengetahuan dan keterampilan sama-sama dilakukan oleh dosen. Padahal syarat menjadi dosen adalah S-2. Seseorang yang bergelar S-2 walau sudah pasti memiliki pengetahuan, namun belum tentu memiliki keterampilan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, keterampilan tidak dapat diperoleh dari bangku pendidikan, melainkan dari pengalaman bekerja di lapangan. PT semacam ini akan menghadapi kesulitan mengisi posisi dosen sekaligus instruktur ini. Karena hal ini berarti PT harus merekrut calon dosen yang bergelar S-2, memiliki pengalaman kerja yang cukup (berarti sudah bekerja), dan mau kembali menjadi dosen (berarti harus keluar dari pekerjaanya). PT semacam ini akhirnya menjadi berkompromi dengan mengesampingkan aspek keterampilan dosen, yang penting berijazah S-2. Pada kegiatan pengajaran pengetahuan, sang dosen tidak akan mengalami kesulitan yang berarti. Namun pada kegiatan praktikum, sang dosen akan menghadapi kendala karena kurangnya penguasaan keterampilan. Proses praktikum menjadi dilakukan seadanya dan semampunya. Lebih buruk lagi jika sang dosen enggan bergelut dengan praktikum yang identik dengan kotor, menghabiskan waktu, serta tenaga, proses praktikum dipasrahkan ke asisten yang hanya berstatus senior 1 tahun di atas peserta praktikum. Hasilnya tentu saja lulusan memiliki kompetensi yang tidak lengkap, terutama pada aspek keterampilannya. Selain itu dengan merangkap jabatan sebagai instruktur, tugas lain dosen untuk meneliti menjadi terbengkalai. Padahal penelitian ini penting untuk peningkatan pangkat sang dosen dan peningkatan peringkat PT tempatnya bernaung.
Sebagai penutup, keterampilan adalah aspek kompetensi yang sama pentingnya dengan pengetahuan, sehingga sudah selayaknya proses pengajarannya diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan dilakukan oleh pendidik yang benar-benar kompeten. Untuk dapat melakukannya PT bisa melakukan cara yang mahal, yaitu mengiming-imingi remunerasi yang tinggi agar praktisi industri mau berpindah ke PT. PT juga bisa melakukan cara yang murah dengan memaksimalkan peran instruktur. Dengan adanya instruktur, pengajaran keterampilan dapat lebih terjamin dan dosen dapat mengalokasikan waktu lebih pada kegiatan penelitian. PT sudah selayaknya tidak mempersyaratkan kualifikasi pendidikan S-2 bagi instruktur sebagai pengajar keterampilan. Bukankah kita tidak pernah mengharuskan instruktur bergelar S-2 sewaktu belajar keterampilan menyetir mobil?
Referensi
- https://kbbi.web.id/instruktur
- https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/Permenristekdikti2-2016RegistrasiPendidikPT.pdf
- https://img.akademik.ugm.ac.id/unduh/2015/PERMENRISTEKDIKTI_Nomor_44_Tahun_2015_SNPT.pdf
- https://www.research-in-germany.org/en/jobs-and-careers/info-for-senior-researchers/career-paths/professorship/professor-applied-sciences.html
- https://www.jpnn.com/news/wahgaji-11062-dosen-ternyata-di-bawah-umk
- https://edukasi.kompas.com/read/2016/05/03/16255571/Rp.3.Jutaan.Segitulah.Rata-rata.Gaji.Guru.dan.Dosen.Indonesia.
- https://batampos.co.id/2019/07/18/polibatam-miliki-8-dosen-rekognisi-pembelajaran-lampau/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H