Mohon tunggu...
Adjiet Latuconsina
Adjiet Latuconsina Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Praktisi Hukum

Praktisi Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Restorative Justice dalam Tindak Pidana Korupsi

11 Maret 2022   10:36 Diperbarui: 11 Maret 2022   11:07 1969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perkembangan hukum pidana dewasa ini telah melahirkan aliran baru dalam penyelesaian perkara-perkara pidana yaitu keadilan restorasi atau restorative justice. Aliran restorative justice muncul dalam era tahun 1960-an yang merupakan suatu model pendekatan penyelesaian perkara tindak pidana yang berbeda dari aliran sebelumnya yang lebih condong pada keadilan retribusi (retributif justice). Aliran retributif justice berpandangan bahwa pelaku tindak pidana harus diberikan suatu "pembalasan", sehingga akhir dari proses penegakan hukum pidana umumnya adalah ditimpakannya pembalasan kepada pelaku berupa pidana penjara. Sedangkan aliran restorative justice berbeda dengan pendekatan penyelesaian pada sistem peradilan pidana konvensional menurut aliran retributif justice yang menganggap proses hukum sebagai pembalasan kepada pelaku, karena aliran restorative justice dititikberatkan pada penyelesaian yang adil dengan tujuan utama pemulihan kembali pada keadaan semula (restutio in integrum), dan menciptakan keadilan dan keseimbangan bagi pelaku dan korban. Mekanisme penyelesaian perkara tindak pidana konvensional yang berfokus pada pemidanaan dirubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku yang didasarkan atas kesepakatan bersama di antara keduanya. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.

Terobosan hukum pidana melalui penerapan restorative justice sudah mulai dipraktekkan di Indonesia pada tahun 2012 sejak berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yaitu dikenalnya diversi sebagai upaya penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Selanjutnya konsep restorative justice juga telah diterapkan secara terbatas dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban melalui mekanisme pengajuan "restitusi" bagi korban tindak pidana kekerasan seksual. Disebut terbatas karena restitusi ini meskipun sifatnya sebagai pembayaran ganti rugi atau kompensasi kepada korban atas penderitaan yang dialaminya akibat tindak pidana atau penggantian biaya perawatan medis atau psikologis, namun adanya restitusi tersebut tidak lantas menghentikan proses hukum terhadap pelaku.

Penerapan penyelesaian perkara pidana melalui restorative justice yang sesunggunya baru mulai diperkenalkan pada tahun 2018, yang ditandai dengan terbitnya Surat Edaran Kapolri Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Pidana, menyusul kemudian di tahun 2020 Kejaksaan RI mengeluarkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Mahkamah Agung RI menerbitkan SK Dirjen Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif. Tahun 2021 Kepolisian RI menyempurnakan petunjuk teknis pelaksanaan restorative justice melalui Peraturan Kepolisian RI nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Namun dasar hukum penyelesaian perkara pidana berdasarkan restorative justice sebagaimana dikemukakan di atas masih terbatas pelaksanaannya pada perkara-perkara tindak pidana umum. 

Untuk perkara tindak pidana korupsi sampai saat ini belum ada aturan yang secara tegas mengatur penyelesaiannya melalui restorative justice. Namun pada tahun 2010 Kejaksaan RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khsusus (JAM PIDSUS) pernah menerbitkan surat nomor B-1113/F/Fd.1/05/2010 tanggal 18 Mei 2010 tentang Prioritas Pencapaian Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi yang menjadi cikal bakal penerapan restorative justice dalam perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, khususnya di lembaga Kejaksaan. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa "dalam penegakan hukum mengedepankan rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang dengan kesadarannya telah mengembalikan kerugian keuangan negara (restorative justice), terutama terkait perkara tindak pidana korupsi yang nilai kerugian keuangan negara relatif kecil perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti, kecuali yang bersifat still going on." Selanjutnya pada tahun 2018 JAM PIDSUS Kejaksaan RI kembali menegaskan mengenai restorative justice dalam perkara tindak pidana korupsi melalui surat nomor B-765/F/Fd.1/04/2018 tanggal 20 April 2018 perihal Petunjuk Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahap Penyelidikan, yang menyatakan bahwa "apabila para pihak yang terlibat bersikap proaktif dan telah mengembalikan seluruh kerugian keuangan negara, maka dapat dipertimbangkan untuk kelanjutan proses hukumnya dengan memperhatikan kepentingan stabilitas roda pemerintahan daerah setempat dan kelancaran pembangunan nasional."

Tujuan restorative justice untuk memulihkan kembali pada keadaan semula (restutio in integrum) dalam tindak pidana korupsi berkaitan dengan pengembalian kerugian keuangan negara seperti sebelum tindak pidana korupsi dilakukan. Namun sayangnya Undang-undang tindak pidana korupsi yang berlaku di Indonesia masih menganut aliran retributif justice yang mengutamakan pemidanaan pelaku korupsi ketimbang fokus pada pemulihan akibat kejahatan tersebut. Hal ini jelas terlihat dalam norma pemberantasan korupsi Indonesia sesuai Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 pada Pasal 4 yang menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus dipidananya pelaku. Ini menunjukan bahwa hukum tindak pidana korupsi di Indonesia masih memandang kesalahan pelaku kejahatan hanya dapat ditebus dengan menjalani penderitaan berupa penjara, dan tidak mengarah pada fokus utama untuk penyelamatan keuangan negara. Padahal hukum internasional telah membuka ruang bagi setiap negara untuk melakukan penyelesaian perkara korupsi melalui restorative justice dalam pengembalian aset sebagai upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Melalui United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang ditandatangani oleh 133 negara, PBB mendesak negara-negara anggotanya untuk sesegera mungkin merespon kehadiran konvensi ini khususnya dalam konteks pengembalian aset negara (asset recovery).

Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan kriminal yang bersifat strategis melalui langkah-langkah terobosan atau inovasi, salah satunya adalah reorientasi kebijakan  hukum penanganan perkara tindak pidana korupsi tidak hanya berorientasi pada pembalasan kepada pelaku tetapi lebih dioptimalkan pada penyelamatan aset negara (asset recovery) atau pengembalian kerugian keuangan negara, sehingga tidak semua perkara korupsi harus dibawa ke pengadilan atau tidak semua pelaku tindak pidana korupsi harus menjalani hukuman penjara, tentunya dengan tidak menghilangkan efek jera agar orang tidak lagi melakukan tindak pidana korupsi.  Misalnya untuk perkara korupsi tertentu dapat diselesaikan di luar pengadilan (afdoening buiten process) berdasarkan restorative justice apabila pelaku mengembalikan kerugian keuangan negara dengan nilai pengembalian minimal tiga kali lipat dari jumlah kerugian keuangan negara yang terjadi akibat perbuatannya. Dari pendekatan cost and benefit analysis akan membawa manfaat kepada negara karena negara tidak perlu mengeluarkan anggaran untuk membiayai proses penegakan hukum hingga pelaku menjalani penjara di Lapas. Sebaliknya negara mendapatkan benefit yang lebih besar dengan adanya pengembalian kerugian keuangan negara tersebut. Hal ini juga sekaligus dapat mengatasi masalah kelebihan kapasitas (over capacity) penghuni yang saat ini terjadi pada hampir semua Rutan dan Lapas di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun