Mohon tunggu...
Adjie Pramana Sukma
Adjie Pramana Sukma Mohon Tunggu... Pengacara - Universitas Jambi

Mahasiswa Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kenaikan PPN 12%: Beban Rakyat, Untung Siapa?

30 Desember 2024   23:15 Diperbarui: 30 Desember 2024   23:14 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% terus menuai kritik tajam dari masyarakat. Kebijakan ini, meskipun memiliki dasar hukum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), memunculkan banyak pertanyaan tentang keberpihakan pemerintah terhadap rakyat. Secara teori, kenaikan ini dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi pada praktiknya, justru menjadi beban berat bagi mayoritas rakyat kecil yang sudah terhimpit oleh tekanan ekonomi pasca-pandemi.

Untuk memahami dampaknya secara konkret, mari kita lihat dari sisi matematis. Misalnya, sebuah keluarga dengan pendapatan bulanan Rp.4.000.000,00 menghabiskan sekitar 70% atau Rp.2.800.000,00 untuk kebutuhan pokok seperti makanan, minuman, listrik, transportasi, dan pendidikan, yang dikenakan PPN. Dengan tarif PPN saat ini (11%), keluarga tersebut membayar pajak sebesar:  

PPN 11%: Rp.2.800.000,00 x 11% = Rp.308.000,00

Namun, jika tarif PPN naik menjadi 12%, pajak yang harus dibayar naik menjadi:  

PPN 12%: Rp.2.800.000,00 x 12% = Rp.336.000,00

Artinya, beban pajak mereka naik sebesar Rp.28.000,00 per bulan atau Rp.336.000,00 per tahun. Jumlah ini mungkin terlihat kecil, tetapi bagi keluarga berpenghasilan rendah, tambahan biaya ini dapat mengurangi alokasi untuk kebutuhan penting lainnya seperti kesehatan atau tabungan pendidikan. Jika dikalikan dengan jutaan rumah tangga di Indonesia, kenaikan ini akan menciptakan tekanan ekonomi yang masif.  

Secara makro, dampak ini tidak hanya dirasakan oleh konsumen tetapi juga oleh pelaku usaha, khususnya UMKM. Dengan kenaikan PPN, harga barang dan jasa yang dijual UMKM akan meningkat, sehingga daya beli konsumen melemah. UMKM, yang menyumbang lebih dari 60% produk domestik bruto (PDB) Indonesia, akan menghadapi kesulitan mempertahankan margin keuntungan. Akibatnya, roda perekonomian nasional dapat melambat, menciptakan efek domino yang merugikan.  

Dari sisi keadilan pajak, kebijakan ini memperlihatkan bias yang signifikan. PPN adalah pajak regresif yang memukul semua lapisan masyarakat secara merata tanpa memandang kemampuan ekonomi. Akibatnya, keluarga miskin membayar proporsi pajak yang lebih besar dari pendapatan mereka dibandingkan dengan keluarga kaya. Sebagai contoh, seorang miliarder yang menghabiskan Rp100 juta untuk konsumsi barang mewah dikenai PPN dengan tarif yang sama seperti seorang buruh yang menghabiskan Rp.2 juta untuk kebutuhan pokoknya. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah gagal mencerminkan asas keadilan yang seharusnya menjadi landasan dalam sistem perpajakan.  

Pemerintah berdalih bahwa kenaikan PPN adalah upaya untuk menutup defisit anggaran dan mendukung pembangunan. Namun, langkah ini tampak seperti solusi mudah yang mengabaikan masalah mendasar dalam sistem perpajakan kita, yaitu rendahnya kepatuhan pajak dari kelompok elit dan praktik penghindaran pajak oleh korporasi besar. Sebagai perbandingan, potensi kerugian negara akibat penghindaran pajak diperkirakan mencapai ratusan triliun rupiah per tahun—jumlah yang jauh lebih signifikan daripada tambahan penerimaan dari kenaikan tarif PPN.  

Secara politis, keputusan ini juga dapat memicu krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Rakyat merasa bahwa negara lebih memilih membebani mereka daripada mencari solusi progresif yang lebih adil. Kenaikan PPN ini berisiko memperdalam ketimpangan sosial, menciptakan jurang yang semakin lebar antara pemerintah dan rakyatnya.  

Dengan segala implikasi ini, pemerintah harus mempertimbangkan ulang kebijakan kenaikan PPN. Alih-alih menaikkan pajak konsumsi yang membebani masyarakat luas, fokus harus diarahkan pada reformasi struktural, seperti penegakan hukum terhadap penghindaran pajak, optimalisasi pajak penghasilan bagi kelompok kaya, dan transparansi penggunaan anggaran negara. Jangan biarkan kebijakan ini menjadi simbol kegagalan negara dalam melindungi rakyatnya. Sebaliknya, jadikan ini sebagai momentum untuk membangun sistem perpajakan yang lebih adil dan inklusif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun