Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap Harvey Moeis dalam kasus dugaan korupsi tata niaga PT Timah Tbk, dengan kerugian negara mencapai Rp300 triliun, telah menciptakan preseden buruk dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia. Vonis 6 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp1 miliar yang dijatuhkan majelis hakim dinilai tidak sebanding dengan skala kejahatan yang dilakukan. Hal ini memicu kemarahan publik karena dianggap mencederai rasa keadilan dan menunjukkan lemahnya keberpihakan hukum terhadap perlindungan kepentingan negara dan masyarakat. Â
Secara hukum, keputusan ini patut dikritisi karena mencerminkan kegagalan sistem peradilan dalam mengedepankan prinsip keadilan substantif. Tindak pidana korupsi, yang secara eksplisit dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), seharusnya mendapatkan sanksi yang tegas untuk menciptakan efek jera, terutama dalam kasus dengan kerugian negara sebesar ini. Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jelas mengatur ancaman hukuman berat bagi pelaku korupsi yang merugikan negara dalam jumlah besar. Namun, putusan ini justru menunjukkan diskrepansi serius antara skala kejahatan dan hukuman yang dijatuhkan, sehingga terkesan ada keberpihakan terhadap pelaku. Â
Yang lebih mengkhawatirkan, pertimbangan hakim dalam memutus perkara ini terkesan mengabaikan dampak sosial dan ekonomi dari kejahatan tersebut. Korupsi dalam jumlah fantastis ini tidak hanya merugikan negara secara material, tetapi juga merampas hak masyarakat atas kesejahteraan yang semestinya mereka nikmati dari pengelolaan sumber daya negara. Putusan ini menunjukkan lemahnya apresiasi terhadap prinsip keadilan distributif, di mana hak-hak korban, dalam hal ini masyarakat luas, diabaikan demi pertimbangan yang tidak proporsional. Â
Selain itu, putusan ini berisiko menjadi preseden buruk yang dapat merusak upaya pemberantasan korupsi di masa depan. Jika pelaku kejahatan luar biasa seperti ini hanya dijatuhi hukuman ringan, maka sinyal yang dikirim kepada publik adalah bahwa korupsi dalam skala besar dapat dinegosiasikan hukumannya. Ini tidak hanya melemahkan efek jera, tetapi juga menciptakan celah bagi pelaku lain untuk meremehkan sistem hukum Indonesia. Dalam jangka panjang, ini mengancam integritas sistem peradilan pidana dan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Â
Sebagai mahasiswa yang berdisiplin hukum, saya memandang kasus ini sebagai titik balik yang memprihatinkan dalam perjalanan hukum Indonesia. Sistem hukum kita harus segera berbenah untuk memastikan bahwa prinsip keadilan ditegakkan, terutama dalam kasus yang melibatkan kejahatan luar biasa. Putusan ini bukan hanya tentang Harvey Moeis, tetapi tentang kredibilitas sistem hukum kita secara keseluruhan. Jika hukum tidak mampu memberikan keadilan yang layak bagi masyarakat, maka upaya penegakan hukum akan kehilangan maknanya. Semoga kasus ini menjadi pelajaran berharga dan mendorong reformasi serius dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Penulis: Adjie Pramana Sukma, Mahasiswa Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H