"Kepemilikan kekuasaan tidak boleh berada di tangan segelintir elit, tetapi harus dijalankan melalui representasi politik yang adil." Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
Dalam dunia politik, terdapat berbagai konsep dan kebijakan yang memiliki peran penting dalam pembentukan dan pengambilan keputusan politik. Tiga konsep yang menjadi perhatian utama adalah juristokrasi, judicialization of politics, dan kebijakan pemilu sistem proporsional tertutup. Ketiga konsep ini memiliki dampak yang signifikan dalam konteks keadilan hukum, demokrasi, dan kepemilikan kekuasaan. Artikel ini akan menggali lebih dalam mengenai paradoks yang muncul akibat interaksi antara ketiga konsep tersebut.
Juristokrasi merujuk pada pemerintahan atau sistem politik di mana kekuasaan berada di tangan para hakim atau elit hukum. Dalam juristokrasi, keputusan-keputusan politik dan undang-undang dibuat oleh para ahli hukum, bukan oleh perwakilan politik yang dipilih oleh rakyat. Ciri-ciri utama juristokrasi adalah kekuasaan yang dikonsentrasikan pada para hakim, penekanan pada keadilan hukum, dan kurangnya partisipasi politik rakyat dalam pengambilan keputusan.
Judicialization of politics merujuk pada fenomena di mana pengadilan atau lembaga peradilan terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan politik. Peran hakim dalam kebijakan politik semakin meningkat, termasuk dalam isu-isu yang sebelumnya dianggap sebagai domain eksekutif atau legislatif. Hal ini terjadi karena lembaga peradilan sering kali dianggap lebih independen dan objektif dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan cabang pemerintahan lainnya.
Sistem pemilu proporsional tertutup adalah sistem di mana partai politik memilih calon-calonnya sendiri untuk duduk di parlemen atau badan legislatif. Dalam sistem ini, pemilih memilih partai politik, bukan calon individu. Partai politik kemudian menentukan urutan calon berdasarkan preferensi internal mereka. Sistem ini memiliki tujuan untuk mewakili beragam pandangan politik dalam parlemen, namun juga dapat menghasilkan kekurangan dalam representasi rakyat.
Ketika ketiga konsep ini saling berinteraksi, paradoks yang menarik muncul. Di satu sisi, juristokrasi menekankan keadilan hukum, di mana hakim yang terlatih mengambil keputusan berdasarkan hukum dan tidak terpengaruh oleh faktor politik. Namun, ketika judicialization of politics terjadi, keputusan-keputusan politik semakin dipengaruhi oleh keputusan-keputusan hakim. Ini mengarah pada kekhawatiran akan pengambilan keputusan politik yang tidak demokratis, karena hakim bukanlah wakil rakyat yang dipilih.
Sistem pemilu proporsional tertutup juga memperumit paradoks ini. Sistem ini pada dasarnya mencerminkan partai politik sebagai wakil rakyat dalam parlemen. Namun, ketika para hakim terlibat dalam kebijakan politik melalui judicialization of politics, keputusan-keputusan politik yang seharusnya diambil oleh perwakilan politik terlibat dalam proses hukum. Hal ini menyebabkan dilema antara keadilan hukum dan demokrasi, di mana keputusan-keputusan politik dapat terpengaruh oleh faktor-faktor non-politik.
Untuk mengatasi paradoks ini, diperlukan upaya-upaya yang komprehensif. Pertama, reformasi kebijakan pemilu dapat dilakukan untuk menghasilkan sistem pemilu yang lebih proporsional dan inklusif, sehingga partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan politik dapat ditingkatkan. Selain itu, pendidikan hukum yang lebih luas dan efektif juga penting untuk memastikan pemahaman publik tentang peran hakim dalam kebijakan politik. Dengan pemahaman yang lebih baik, masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam proses politik dan mempengaruhi keputusan yang diambil oleh hakim.
Paradoks antara juristokrasi, judicialization of politics, dan sistem pemilu proporsional tertutup memunculkan pertanyaan yang kompleks mengenai keadilan hukum, demokrasi, dan kepemilikan kekuasaan. Interaksi antara ketiga konsep ini menghasilkan situasi di mana pengambilan keputusan politik dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bukan semata-mata politik. Untuk mengatasi paradoks ini, reformasi kebijakan pemilu dan pendidikan hukum yang lebih baik diperlukan. Hanya dengan demikian, dapat tercipta keseimbangan yang tepat antara keadilan hukum, demokrasi, dan kepemilikan kekuasaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI