Mohon tunggu...
Adji Prakoso
Adji Prakoso Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Bukan siapa-siapa

Penikmat buku dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kekuatan Pembuktian Sumpah Dalam Perkara Perdata

22 Mei 2014   17:19 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:14 1297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkara yang diselesaikan melalui badan peradilan ( litigasi ), pidana, perdata maupun tata usaha negara pasti menempuh langkah pembuktian. Ini jalan untuk yakinkan hakim atas kebenaran menurut para pihak berperkara. Pembuktian merupakan kunci utama majelis hakim membuat putusan. Setiap pihak dalam pembuktian punya tujuan membenarkan semua dalil yang diungkapkannya ke permukaan, tetapi proses ini harus didasarkan alat bukti yang ditentukan undang-undang. Selain itu, majelis hakim dilarang memutuskan sebuah perkara tanpa didasari alat-alat bukti.

Pasal 169 HIR “hukum acara perdata” menjelaskan keterangan seorang saksi tanpa alat bukti lain tidak cukup membuktikan kebenaran. Sering disebut juga dengan adagium hukum unus testis nulus testis “satu saksi bukan saksi”. Sedangkan hukum acara pidana berikan garis ketentuan sama dengan acara perdata, teramanatkan jelas pasal 183 KUHAP yaitu majelis hakim saat memberikan putusan harus didasarkan minimal dua alat bukti dan disertai keyakinannya.

Alat bukti adalah instrumen temukan kebenaran. Jenis alat bukti di perkara pidana, perdata dan tata usaha negara terdapat beberapa perbedaan, dari urutan maupun jenisnya. Untuk perkara perdata, alat bukti yang digunakan proses pembuktian menurut pasal 164 HIR ialah surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Urutan alat bukti menentukan tingkatan nilai pembuktian.

Pembuktian perkara perdata, terdapat jenis alat bukti yang menarik dikaji yaitu sumpah. Alat bukti bernama sumpah, diatur pasal 155,156 dan 157 HIR. Pastinya kita berfikir dan menilai, apakah bukti sumpah dapat memberikan nilai obyektifitas ? Selain itu, apakah “sumpah” memberikan jawaban atas kebutuhan menemukan kebenaran ? Faktanya alat bukti sumpah memainkan peranan vital, khususnya jika kekurangan alat bukti atau tidak ditemukan alat bukti lain.

Ada dua jenis sumpah yaitu sumpah dibebankan oleh majelis hakim dan sumpah dimohonkan pihak lawan. Sumpah dibebankan majelis hakim bernama sumpah penambah dan penaksir. Sedangkan yang dimohonkan pihak lawan yaitu sumpah pemutus. Sumpah penambah atau suppletoire eed sudah ada bukti lainnya, akan tetapi bukti tersebut belum lengkap, sempurna dan karenanya perlu dikuatkan oleh bukti lain. Sedangkan untuk mendapatkan alat bukti lain tidak memungkinkan lagi. Jadi langkah yang diambil untuk menguatkan bukti sebelumnya, menggunakan “sumpah penambah”.

Majelis hakim menentukan, diperlukan atau tidaknya penggunaan sumpah penambah atau suppletoire eed. Ini menunjukan hakim punya kewenangan sendiri menambah pembuktian yang sudah ada atau tidak. Jikalau alat buktinya masih kurang, majelis hakim bebas menambahkan sumpah penambah. Apabila terdapat pihak memohon kepada majelis hakim untuk berikan sumpah penambah, menunjukan ketidakwajaran dipraktek pembuktian. Dikarenakan hanya majelis hakim sendiri karena jabatannya dapat memerintahkan sumpah penambah.

Pihak yang dibebankan mengucapkan sumpah penambah, merupakan kebijaksanaan majelis hakim. Apabila terdapat pihak dibebankan mengucapkan sumpah penambah “suppletoire eed” oleh majelis hakim, namun mengelak dan tidak melaksanakan. Majelis hakim membuat putusan akhir yang mengalahkan pihak tersebut. Hal ini dikarenakan, dalil yang ada belum terbukti nilai kebenarannya.

Terdapat satu jenis lagi dikategorikan sumpah penambah yaitu bernama sumpah penaksir. Jenis sumpah ini, digunakan apabila terdapat bukti lain tetapi belum cukup dan tidak memungkinkan mencari alat bukti lain. Sumpah penaksir atau astematoire eed dilakukan untuk memberikan taksiran atas ganti rugi yang diminta penggugat. Pasal 155 ayat 2 HIR menjelaskan sumpah penaksir hanya dapat dibebankan pengucapannya oleh penggugat.

Jenis alat bukti sumpah lain ialah litis decisoir atau sumpah pemutus. Menurut Prof Subekti, “sumpah pemutus” merupakan senjata pamungkas. Maksudnya, senjata terakhir oleh pihak yang tidak mengajukan alat bukti lain. Sumpah pemutus diatur ketentuannya di pasal 156 HIR, bahwa objek perselisihan tidak dapat ditemukan bukti apapun. Maka caranya memohon kepada majelis hakim agar pihak lawan disumpah.

Tujuan pengucapan sumpah pemutus untuk akhiri perkara. Sumpah pemutus harus mengenai suatu hal yang benar-benar menyangkut pokok sengketa. Siapa pihak ucapkan sumpah pemutus, dia akan memenangkan perkara. Dikarenakan melepaskan pembebanan sumpah kepada pihak lain, merupakan pelepasan hak untuk menang. Namun permasalahan berbeda, jika sumpah itu dikemudian hari terbukti palsu. Pasal 156 ayat 3 HIR, menjelaskan bahwa sumpah pemutus dapat dikembalikan kepada pihak yang memohonkan sumpah. Apabila pihak yang memohonkan pengucapan sumpah pemutus kepada lawannya, mengelak ucapkan sumpah yang dikembalikan. Maka dia harus dikalahkan.

Penjelasan diatas analisa singkat mengenai jenis alat bukti “sumpah”. Mempunyai sifat unik dan nilai tersendiri dalam proses pembuktian di penyelesaiaan perkara perdata. Sumpah jadi senjata terakhir dan bersifat menentukan putusan akhir, meskipun jarang sekali digunakan oleh para pihak.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun