Kang Adjat, Bagaimana pendapatnya tentang PPDB yang "lagi-lagi kisruh" ?
Sejumlah orang tua meminta sistem zonasi dalam PPDB dihentikan, kenapa ? apa masalahnya ?. Seperti diketahui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan peraturan Nomor 51 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019. Permendikbud itu mengatur kuota PPDB tahun ajaran 2019/2020 dibagi menjadi tiga jalur, yakni Jalur Zonasi, Jalur Prestasi, dan Jalur Perpindahan Orang Tua.
Jalur Zonasi mewajibkan sekolah negeri untuk menerima peserta didik yang berdomisili sesuai zonasi, di mana seleksi dilakukan berdasarkan jarak antara domisili peserta didik ke sekolah. Tiap sekolah negeri wajib menerima peserta didik dengan kuota maksimal 90 persen dari daya tampung.Â
Kuota ini pun berlaku bagi peserta didik yang tidak mampu dan penyandang disabilitas. Lalu jalur prestasi diperuntukkan bagi peserta didik yang berdomisili di luar zonasi.Â
Peserta didik didaftarkan berdasarkan prestasi dari nilai USBN/UN atau hasil perlombaan atau penghargaan akademik/non akademik. Peserta dapat menyertakan bukti prestasi seperti sertifikat atau piagam hasil perlombaan.Â
Serta jalur terakhir adalah jalur Perpindahan Orang Tua. Jalur ini berlaku untuk siswa yang orang tuanya mendapat perpindahan tugas. Melalui bukti surat penugasan dari instansi, lembaga, kantor, maupun perusahaan yang mempekerjakan orang tua, jalur ini juga berlaku untuk calon siswa yang tempat tinggalnya terkena bencana alam.
Apakah masyarakat sudah paham aturan di atas itu ? atau orang tua "galau" hanya karena jika dulu-dulu gak perlu pusing daftarin anak sekolah langsung ke lembaga yang dikehendati, sementara saat ini tidak demikian.
Saya termasuk orang yang setuju adanya zonasi sekolah, masalahnya adalah pelaksanaan sistem zonasi harusnya diterapkan bukan hanya dengan pendekatan administratif, tapi juga faktual. Selain itu, penerapan sistem ini juga harus disertai dengan survei populasi, dan yang juga harus dilakukan adalah pemerataan kualitas guru dan sarana prasarana pendidikannya.
Banyak orang tua calon peserta didik baru yang mengeluh sistem PPDB yang diterapkan saat ini, khususnya bagi mereka yang tinggal di daerah perbatasan. Tidak sedikit yang karena masalah alamat domisili, justru harus mendaftar di sekolah yang lokasinya lebih jauh dari rumahnya, padahal ada sekolah yang jaraknya lebih dekat tapi berbeda wilayah administratif.Â
Hal ini tentu harusnya bisa diselesaikan dengan "diskresi" kepala sekolah. Dasar faktual harus menjadikan pertimbangan utama untuk bisa menerima peserta didik tidak sekedar domisili berdasarkan catatan kependudukan administratif. Untuk pengecualian ini sebetulnya ada celah aturannya, karena kuota zonasi menurut permendikbud adalah 90 persen, artinya ada 10 persen untuk yang dapat dikecualikan.Â
Namun kewenangan Kepala Sekolah untuk melakukan "diskresi" tidak leluasa diberikan, karena praktek "koruptif" menjadi pengalaman buruk masa lalu. Maksudnya, bisa saja ada oknum Kepala Sekolah yang menggunakan kewenangan itu untuk memasukan calon peserta didik tertentu untuk diterima disekolahnya. Tentu hal ini bukan tanpa solusi, transparasi adalah jawabannya. Sistem harus dibuat dengan memungkinkan pihak lain melakukan pengawasan. Pertimbangan dasar faktual ini perlu ditentukan radius ideal bagi calon siswa yang dikecualikan tersebut.