Mohon tunggu...
Adi Wursito
Adi Wursito Mohon Tunggu... -

try to feel the euphoria of technology in parallel society

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Bukan] Review Sebuah Film

28 Januari 2016   20:06 Diperbarui: 28 Januari 2016   20:14 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

   Pembaca yang budiman tentu tahu bahwa saat ini tayangan televisi yang ngehits adalah sinetron yang tayang pada waktu utama atau prime time, salah satunya adalah sinetron berjudul anak jalanan. Di kompasiana sendiri beberapa tulisan teman-teman kompasiana mengulas bagaimana tayangan sinetron tersebut. Tayangan sinetron tersebut punya kesamaan tema dengan film-film yang pernah marak beberapa tahun lalu, tidak punya kadar nilai selain rating.

  Perfilman nasional mulai bangkit kembali setelah tidur panjang diawali dengan melejitnya AADC, Ada Apa Dengan Cinta, judul yang menggairahkan. Dalam film AADC digambarkan penolakan gaya hedonis anak muda, tak ada mall, restoran, mobil mewah dan keparlentean. Gaya yang autentik dari lakon yang dimainkan menggambarkan muda mudi yang gemar puisi dan sastra. Tema film pasca AADC sunguh merisaukan, bikin gundah gulana dan ndak enak tidur, gregetan deh. Industri perfilman bangkit dengan munculnya pelbagai judul yang tayang di bioskop nasional, namun dengan satu tema yang gradakan alias bersamaan. Tema sama, judul mirip..wah! satu tema yang pakem saat itu adalah genre horor, sedang yang lainya adalah tema dengan sedikit mesum, nakal; yang mengajarkan pada generasi kita berperilaku hedonis, mengajarkan kekejaman bla..blaa.. Kesadaran kultural diberangus atas nama provit keuntungan semata waah.. Kita sendiri cenderung menikmati tontonan tersebut meski sekedar iseng heuheu.

  Memproduksi sebuah film itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit alias mahal, dari penulis skenario, sutradara, kamerawan dan lain lain membutuhkan jaminan hidup tapi apa iya menampilkan cerita yang anu. Efek tayangan film sendiri jelas mempengaruhi individu yang menonton. Apa yang ditiru? Lihat saja konklusi film jepang yang menghasilkan Cosplay dengan jamaah yang jumlahnya bejibun diluar negara asal. Nominal diraup bukan saja dari tayangan filmnya saja namun dari merchendise, dan sebagainya. Selain film terbatas dari Jepang yang lebih mendominasi adalah buatan Korporasi Hollywood lebih banyak mendominasi layar kaca dan layar lebar kita.

  Film ya film merupakan rekaman peradaban zaman, film menginspirasi, film membuka wacana, mereflesikan sejarah membuat kita terprovokasi untuk mengkaji dan memaknai. Mungkin pembuat film lupa, ndak inget dengan bapak Usmar Ismail, bapak film nasional. Film Darah dan Doa (Long March Siliwangi) yang dibuat pada tahun 1950 dengan aktor seadanya mencontoh neorealis film-film Itali. Darah dan Doa, Film pertama dijaman revolusi tersebut mendapatkan kritikan dari penguasa saat itu. Selain Darah dan Doa ada juga Tamu agung film satire yang ndak lolos sensor oleh penguasa. Selain tema tema sosial, usmar Ismail juga mengusung komedi dan action sebagai tema karyanya. Usmar Ismail meski tidak puna profit movite dalam karyanya namun dalam batasan tertentu beliau masih berkompromi dengan pemodal untuk produksi filmnya.

  Hidangan dengan sajian tema yang lebih manusiawi dari film indie menjadi alternatif sebagian dari kita. Sayangnya film-film idealis tersebut tidak banyak beredar dengan mudah. Dan film dari novel best seller masih sedikit beruntung karena diminati dan laris manis (contoh: Laskar Pelangi dari novel Laskar Pelangi Andrea Hirata, 5 cm dari Donny Dirgantara ). Bulan ini ada film baru yang tayang di bisokop berjudul Siti, garapan Eddie Cahyono yang menyampaikan aspirasi dari masyarakat bawah tentang sulitnya hidup. Film tersebut meraih penghargaan dengan beberapa kategori di Piala Citra didalam negeri dan di Singapore International Film Festival. Kalau di era 80-90 awal kita pujya komedi satire Warkop DKI,sekarang? Namun apakah film-film tersebut mampu menginsyafi untuk dikaji lebih dalam mampu membangkitkan gairah pada sejarah dan dinamika kehidupan atau sebatas trending topic sesaat mhmm,...

  Patut kita ingat bahwa negeri ini melahirkan Usmar Ismail yang aku sebut sebagai salah satu pahlawan Nasional yang berjuang demi Indonesia. Prajurit perwira intel pernah di emban, mendirikan PWI, sebagai pemimpin redaksi mendirikan studio film dan lain-lain. Aktor dalam film-film beliau banyak yang menduduki posisi penting selepas bermain dalam filmya dari diplomat, kapolri dan menteri. Di film sendiri melahirkan sutradara dan artis seperti Teguh karya. Ingat juga sekarang kita masih punya Garin Nugorho, Mira Lesmana, Christine hakim, Hanung Bramantyo dengan mereka kita masih berharap negeri ini ada film yang lebih manusiawi. Nah soal film Ah jadi ingat cerita Gus Dur ketika di Mesir yang pada awalnya untuk kuliah, kegiatanya lebih banyak dihabiskan untuk nonton film perancis, pergi kepasar loak dan bermain sepakbola daripada diruang kuliah. Kalau kamu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun