[caption id="attachment_206314" align="aligncenter" width="604" caption="Wahyu NH Aly"][/caption]
_______
Sebelumnya, saya membaca hasil wawancara Muhammad Akrom deangn Wahyu NH Aly yang dipublikasikan di Kompasiana, yang berjudul, "Mubalig Wahyu NH Aly Berharap Rhoma Irama Dipenjara." Setelah membaca artikel tersebut, saya merasa tertarik untuk berbincang-bincang lebih mendalam dengan kyai muda ini, Wahyu NH Aly. Berikut hasilnya: Saya: Apa pendapat Gus Wahyu dengan pemanggilan seorang mubalig oleh Panwaslu? Gus Wahyu NH Aly: Rhoma Irama? Saya: Iya, Gus. Kira-kira pemanggilannya tersebut ada unsur kriminalisasi terhadap mubalig tidak, Gus? Gus Wahyu NH Aly: Emmm..., hemat saya tidak ada kaitannya antara pemanggilan Rhoma Irama ini dengan kriminalisasi mubalig. Karena, Rhoma itu bukan mubalig. Saya: Kemarin, Rhoma sendiri yang bilang kalau statusnya berceramah di Masjid Al-Isro itu sebagai mubalig, Gus? Gus Wahyu NH Aly: Kan, itu hanya pengakuan. Tapi kenyataannya dia enggak paham agama. Saya sudah menonton video ceramahnya yang di Toutube. Yang judulnya Dakwah dan Fitnah. Isinya itu, yang layak disampaikan di Masjid itu ya hanya yang diawal itu, yang copi-paste ayat  Alquran itu. Sedangkan yang selanjutnya, atau isi yang selainnya, itu tak sepantasnya disampaikan di Masjid. Saya: Bisa dijelaskan lagi, Gus? Gus Wahyu NH Aly: Seperti Rhoma mendukung dibenarkannya SARA. Dia yang mengaku mubalig, menguatkan pernyataannya tentang SARA menggunakan ucapannya bekas ketua MK, Pofesor Jimly. Ceramahnya kan di Masjid, sebaiknya yang dijadikan dasar tentang SARA ya dari sudut pandang Islam, bukan ucapannya Ketua Dewan Penyelenggara Pemilu. Saya: SARA itu Suku, Agama, dan Ras. Menyampaikan itu salahnya dimana, Gus? Gus Wahyu NH Aly: Kalau itu akronimnya. Singkatannya. Iya, SARA kalau disingkat Suku, Agama, dan Ras. Tapi, SARA sebagai kata, saat ini itu kan sudah menjadi istilah. Istilah dari SARA itu negatif. Saya: Istilah SARA itu apa, Gus? Gus Wahyu NH Aly: Kalau merunut KBBI, kayaknya belum ada. Tapi acapkali secara akademik dan media, SARA seringkali mengandung makna suatu pandangan atau tindakan berdasarkan sentimen suatu identitas (Suku, Agama, Ras), yang di dalamnya melibatkan unsur-unsur negatif. Unsur negatif disini seperti kekerasan, penodaan atau pelecehan, pendiskriminasian, dan sebagainya. Saya: Seperti yang disampaikan Gus Wahyu. Kalau di KBBI belum tercantum, bukan kah itu menunjukkan apabila istilah SARA itu belum baku. Tapi, mengapa istilah yang belum baku itu diterima dan dijadikan sarana penilaian? Gus Wahyu NH Aly: Belum baku kalau sudah menjadi kebiasaan, di dalam qawaid fiqhiah, ada kaidah al-urf muhakkamah. Kebiasaan itu bisa menjadi suatu sarana penilaian. Bisa dijadikan acuan suatu ketetapan. 'Urf di sini, disebutnya 'urf lafdzy. Al-Urf dengan al-adah itu tidak sama yah. Saya: Ada tidak, Gus.Lainnya lagi dari isi ceramahnya Rhoma Irama yang kurang layak? Gus Wahyu NH Aly: Kalau benar orang tua Jokowi itu beragama Islam, seperti yang dikatakan timsesnya Jokowi, maka ucapan Rhoma yang mengatakan orang tua Jokowi itu Kristen berbalik pada dirinya sendiri. Artinya, kalau orang tua Jokowi itu Islam, maka Rhoma Irama telah kafir dengan ucapannya itu. Dalam hadits yang diriwayatkan itu kan diterangkan, apabila seseorang menuduh fasik ataupun kafir, kalau kenyataannya yang dituduh itu tidak begitu, maka ucapan atau sebutannya itu akan kembali pada diri si pengucap. Juga, fitnah itu dalam Islam kan termasuk perbuatan yang lebih kejam dari membunuh. Al-fitnatu as-syaddu minal qatli. Saya: Lainnya, Gus? Gus Wahyu NH Aly: Fitnah dan suudon atau buruk sangkanya itu. Saya: Bagaimana itu, Gus Gus Wahyu NH Aly: Dengan Rhoma mengatakan Jakarta akan tergadaikan bila dipimpin oleh Ahok yang nonpribumi, ini berarti Rhoma Irama telah melakukan pelecehan dan buruk sangka atau suudon terhadap orang lain. Apakah mubalig membenarkan ceramahnya berisi cacian dan fitnah? Tidak. Keturunan Tiongkhoa ataupun keturunan Arab, ataupun yang lainnya, di Indonesia sama. Mereka sama seperti keturunan Jawa. Mereka sama sebagai warga negara Indonesia seperti keturunan Melayu yang menjadi warga negara Indonesia. Kalau keturunan Arab diterima, kenapa Tiongkhoa tidak? Cina dan Arab, termasuk Jawa, sama-sama manusia yang terkadang merasakan takut, sedih, ingin hidup bahagia, ada yang baik dan ada yang tidak, ada yang suka menfitnah dan ada yang jujur, ada yang suka mengadu domba sekaligus licik dan ada yang tidak, ya begitu seterusnya. Mereka semua itu sama. Termasuk fitnah juga, dengan mengatakan apabila pasangan Jokowi-Ahok menang, nantinya yang menjadi pemimpin sejatinya Ahok. Ini kan belum terjadi. Menduga masa depan dengan berburuk sangka, fitnah itu namanya. Karena, bagaimana pun pasangan tersebut belum teruji. Justru kalau mau jujur, lebih baik mencoba pemimpin yang baru karena dikenal bersih, amanah, mengayomi masyarakat, daripada berdosa karena memilih pemimpin yang dikenal arogan, egois, bernafsu besar menjadi penguasa, tidak amanah, hanya mencari kepentingan pribadi. Kalau begini, tinggal dilihat, lebih amanah dan mengayomi mana antara Jokowi dengan Foke? Sekali lagi memilih pemimpin yang tidak amanah itu hukumnya haram. Memilih pemimpin tidak sama seperti dengan seperti orang berijtihad dalam ibadah mahdhoh. Saya: Terakhir, Gus. Memilih pemimpin non muslim boleh tidak, Gus? Gus Wahyu NH Aly: Ini pemimpin sholat apa pemimpin sebuah negara. Beda ya, imam sholat dengan pemimpin negara itu. Apakah Indonesia itu negara Islam? Saya ada cerita. Saat saya di SMP, saya mempunyai empat sahabat kelas beragama lain dari sekitar tiga puluhan siswa di kelas saya. Di antara salah satu dari empat sahabat kelas saya itu non muslim plus keturunan tiongkhoa dan dia orangnya itu jujur, amanah, pandai berorganisasi, dan memiliki banyak ide-ide kreatif. Kemudian, saat mau ada pemilihan ketua kelas, teman-temanku yang beragama Islam kebanyakan ingin memilih saya sebagai ketua kelas. Tapi, saya menolak menjadi ketua kelas dan meminta teman saya yang beragama Islam untuk mengangkat sahabatku yang non muslim dan tiongkhoa itu. Lalu teman-temanku bertanya, kenapa memilih orang non muslim menjadi ketua. Saya sederhana saja menjawabnya. Islam itu tegas, yaitu menyuruh umatnya agar mempercayakan tanggung jawab, amanah, harus pada ahlinya. Tidak boleh mempercayakan amanah kepada orang yang tidak ahli dan apalagi tidak amanah. Penolakan saya menjadi ketua kelas, bukan karena saya tidak amanah. Tapi saya merasa tidak ahli menjadi ketua kelas. Jadi, mempercayakan ketua kelas kepada sahabat saya yang non muslim, karena memang dia itu layak untuk itu, jadi ya musti diserahkan kepada dia. Terbukti, begitu sahabat saya yang non muslim itu menjadi ketua kelas, kelas menjadi terlihat lebih hidup dari biasanya. Program-program positif seperti belajar kelompok terasa bangkit. Ikatan kekeluargaan, kebersamaan dalam perbedaan dirasakan seluruh teman-teman kelas. Sekali lagi, memilih pemimpin haruslah yang memang memiliki hak untuk itu, harus yang amanah. Itu Islam. Saya: Kesimpulannya, Gus? Gus Wahyu NH Aly: Apa yang disampaikan Rhoma Irama di dalam Masjid, itu bukan kata-kata seorang mubalig. Melainkan seorang provokator. Mubalig tidak akan berbicara seperti itu. Seorang mubalig juga pastinya senang dan bersyukur bila ada yang menyebarkan ceramahnya ke publik yang lebih luas, bukan malah menuntut, karena masjid itu milik publik. Memilih pemimpin itu harus pada ahlinya, dan haram memilih pemimpin yang tidak amanah. Itu saja....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H