Esai oleh: Tim Penulis *
Abu Khurairah, Zaid bin Tsabit dan Anas bin Malik adalah deretan sastrawan masa tetas ekspantif Islam. Kebersihan sastra yang mereka miliki, mendorong Muhammad sang Rasulullah untuk memercayakan al-Hadits pada mereka. Suatu titipan peradaban universal sepanjang zaman, sebagai hadiah logis dari independensi sastra yang suci.
Nafas sastra terus berhembus ke masa berikutnya seperti Jalaluddin Rumi, Kahlil Gibran, termasuk sastrawan Indonesia Goenawan Muhammad dan Wahyu NH. Aly, nama-nama penerus estafeta sastra modern terkemuka. Kualifikasi setiap sastrawan, tentunya juga memiliki corak dan prinsip yang tidak sama. Lensa perbedaan inilah yang dapat menentukan nilai independensi sastra di tengah arus pragratisme, kekuasaan atau kedudukan yang menggiurkan. Pada tulisan ini diulas secara sederhana dua sastrawan Indonesia antara Gunawan Muhammad dengan Wahyu NH. Aly.
Pemandangan kontroversial tampak mengemuka, tatkala Goenawan Muhammad menolak secara santun penghargaan Bakrie Award sebagai tokoh sastra dan budaya yang diterimanya di tahun 2004 lalu. Alasannya, dilatarbelakangi rasa kecewa akan tindakan Aburizal Bakrie selama ini, mulai dari kasus Lapindo sampai persoalan Century yang mengambinghitamkan Sri Mulyani dan Boediono. Dengan ini, Goenawan Mohammad jelas tidak sepaham dengan Abu Rizal Bhakri (Ical), dengan keluarga Bakrie merupakan pemilik mayoritas PT Lapindo Brantas yang sedang bermasalah dengan semburan lumpur di Porong, Sidoarjo.
Sekilas Goenawan Mohammad layak diacungi jempol atas sikap kekecewaan terhadap Ical, yang juga merupakan representasi dari kekecewaan publik. Sekali-kali Ical memang perlu ditegur dengan sopan agar mengetahui eksistensinya terhadap bangsa. Disini, nurani seorang jurnalis sekaligus sastrawan Goenawan Muhammad terlihat jumawa pada bentuknya yang kongkrit. Kepedulian terhadap rakyat serta kesucian jiwa bersinar dari hati seorang Goenawan Muhammad.
Sikap baik Goenawan Muhammad memang tampak putih ketika dihadapkan pada situasi kenegaraan dan koreksinya terhadap Ical. Tapi tidak pada sikap independensi sebagai seorang jurnalis, lebih-lebih sastrawan. Goenawan Muhammad belum bisa membedakan Antara "hitamnya pemberi" dengan "putihnya pemberian" yang jangan sampai dibaurkan. Bila dibaurkan, sisi kesucian sastra akan ternodai. Inilah sisi lain dari sikap Goenawan Muhammad yang -katanya- perlu diapresiasi.
Teringat kisah Harun Alrasyid, beliau dikenal raja yang otoriter dan nepotis. Kebetulan, masa itu adalah masa keemasan sastra. Memiliki jiwa sastra membuatnya mendapat kehidupan yang sejahtera dan dipandang terhormat. Sebut satu sastrawan, abu Ayyub Al-qurthubi ketika membacakan puisinya dihadapan raja, beliau mendapat penghargaan sekotak emas murni dan beliau menerimanya dengan bangga. Karena baginya, sastra adalah sastra dan raja tetaplah raja yang angkuh. Keduanya tak dapat dibaurkan.
Penghargaan murni karena jiwa sastra, yang harus diterima dengan kebersihan sastra pula. Tidak dicampuri dengan situasi dan keberadaan pemberinya. Secara tidak langsung, mencampur-adukkan antara pemberi dengan pemberian sama halnya dengan menghilangkan jiwa independesi sastra. Bila demikian, sastra sudah berbaur dengan kepentingan dan politik, sastra tak lagi bersih. Mau tidak mau, Goenawan Muhammad gagal memisahkan sastra dengan politik dan kondisi Ical.
Melihat sikap Goenawan tak selayaknya ia dianggap sebagai seorang sastrawan, namun ia lebih pada sikap politikus. Yang bersitegang setiap momentum, nilai-menilai, tarik-manarik simpati dan mencari sensasi rakyat. Seolah Goenawan Muhammad membetulkan klaim publik dengan menggunakan logika terbalik, semisal, bila tidak sepaham dengan Ical hingga menolak "kerja sama", berarti Goenawan Muhammad sepaham dengan lawan/musuh Ical, dalam hal ini adalah Pak SBY. Penilaian yang demikian kemudian dibenarkan dengan pilihannya memosisikan dirinya sebagai tim sukses.
Dari sisi ini, lagi-lagi jiwa sastra Goenawan Muhammad perlu dipertanyakan nilai independensinya. Keberpihakan kepada salah satu oknum atau individu tak selayaknya ada bagi dunia sastra. Begitupula menolak keberpihakan di tengah kondisi yang menuntut keberpihakan, sama halnya dengan ikut keberpihakan itu. Karena ini bukan lah prinsip fitrah sastra dan independensinya. Dunia sastra bukan dunia politik, kekuasaan ataupun dunia keberpihakan. Melainkan dunia lain dari hal yang tampak, sehingga sastra menduduki ruang yang suci dan bersih.