Belakangan ini hadir film-film dengan cerita yang mengambil latar di wilayah Indonesia Timur. Tentu saja ini terkait lokasi syuting. Namun dalam film, penggambaran lokasi jadi maksmimal jika ditampilkan sebagai situasi, dengan kata lain menampilkan kehidupan sesungguhnya yang berlangsung pada lokasi syuting tadi. Bla..bla..bla..
Demikian juga dengan acara “trip dan adventure” yang ada di televisi. Semuanya sedang ramai-ramai melawat ke timur, mencari dunia yang tidak menyerupai Jakata dan versi downgradenya. Mencari lingkungan yang katanya masih asli, dimana nilai-nilai yang langka dan hampir punah bisa ditemukan jika kita pergi ke tempat yang tepat dan berjumpa dengan orang yang tepat.
Dan layar bioskop serta layar Tv marak dengan “gambar hidup” tentang eksotis, asli, alami dan indahnya alam Indonesia Timur, berikut gambar dan narasi tentang manusianya yang hidup senang karena selaras alam, meski tampil serba kurang jika dilihat dengan sudut pandang materialisme dan hedonisme yang katanya sudah bercokol di hati orang-0rang urban.
Maka pergilah mereka ke Timur, untuk melihat alam yang indah sebagai latar adegan percintaan atau pertarungan. Atau untuk melakukan petualangan, sejenak terlibat dengan kehidupan masyarakat yang dalam narasi tayangan disebut “ menyambut mereka seperti anak kandung”
Kemudian aktivitas sesaat itu ditutup dengan kuncian : merasa menemukan makna hidup. Lalu mereka kembali ke Jakarta dengan misi untuk menyebarkan nilai-nilai terpuji yang konon sudah dilupakan orang-orang di Kota Besar.
Lalu tayangan pun jadi dan kesan orang macam-macam. Bermunculan hasrat untuk melancong ke negeri yang eksotis, untuk tujuan jalan-jalan dan bonusnya adalah bisa berbuat kebaikan sebagai sebuah “politik etis” yang tidak ingin dikumandangkan. Walaupun pada kenyataannya, pola yang sama terulang kembali. Sebuah perjumpaan yang tidak intens namun direfleksikan terlalu dalam. Seoalh-olah pencerahan bathin sudah jadi menu wajib dalam paket jalan-jalan tadi.
Sementara mereka yang dikunjungi tetap setia dengan kehidupan mereka, kecuali bebeapa “murid peradaban” yang besar mulut karena merasa dianggap oleh mereka yang kaya, penting dan berkuasa. Demikian..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H