Banyak orang kini makin khawatir, anak-anak tak lagi mendengar dan menyenyikan lagu yang pantas. Perbendaharaan lagu anak-anak pun tak pernah bertambah secara signifikan, atau mungkin tak tecatat dalam ingatan. Lagu yang penah saya nyanyikan waktu kecil, kemungkinan besar akan sama dengan yang dinyanyikan anak saya di kemudian hai. Kereta api tut-tut-tut dan tukitakituk suara kakinya kuda.
Begitulah tampak di permukaannya. Tetapi sekalipun kami menyanyikan lagu yang sama, anak-anak sekarang tak bakal punya referensi dan konteks. Jika bernyanyi tentang menerbangkan layangan di tanah lapang – saya dan generasi saya dengan mudahnya membuat visualisasi dan bernostalgia. Untuk generasi sekarang, ahh..pikirkan sendiri.
Maka jika lagu anak-anak hilang dari peredaran dan anak-anak sendiri kurang minat menyanyikannya, kita mau menunjuk hidung siapa? Para pencipta lagu atau orang tua? Atau penyanyi cilik? Atau televisi? Pada akhirnya telunjuk kita dengan beratnya mengarah pada hidung sendiri.
Mungkin kita sudah membuat tanah lapang jadi belantara beton  atau jalur-jalau kali jadi tempat sampah, atau kebun buah-buahan dan gubug di sawah jadi tempat mesum dan huma di atas bukit jadi vila dan pesanggrahan mewah.
Kita pertama-tama telah meusak dunia tempat anak-anak bermain, dan olahraga tanpa gelanggang lua akhirnya menjadi olahraga indoor – demikianlah cara berpikikirnya. Sebab  pada akhinya anak-anak kita kehilangan tempatnya di dunia yang luas ini dan berebutan dengan orang yang lebih dewasa  berdevosi kepada semua yang manis dan manja dalam layar televisi.
Jika anak kita tak lagi menyanyikan lagu anak, mereka pantas mendapatkannya. Sebab lirik dan musik bisa dinyanyikan atau dimainkan. Tetapi dunia yang hilang dari setiap lagu itu tak akan terganti.
Mungkin si anak harus melihat di balik lemari atau masuk ke lubang kelinci untuk melihat Wonderland.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H