Saya tertarik ketika melihat di media sosial muncul kekhawatiran mengenai akan dilarang edarnya buku-buku kiri imbas disahkannya Revisi UU TNI.
Banyak dari kita takut 'Orde Baru Jilid Dua' akan segera terjadi, anggapan itu wajar karena yang terjadi di rezim Prabowo ini memang perlu dipertanyakan.
Namun saya tak akan membahas soal itu lebih jauh, karena dalam benak saya muncul sebuah pertanyaan; memang seberbahaya apakah sebuah buku terhadap kekuasaan sampai kala itu Orde Baru repot-repot melarang banyak buku? dan seberapa mengganggunya buku terhadap berlangsungnya Status Quo Sampai muncul kekhawatiran tadi?
Benar bahwa buku hanyalah sebuah kumpulan kertas berisi teks atau tulisan yang kemudian dijilid dengan sampul yang menarik mata. Tetapi lebih jauh dari itu, buku hadir layaknya taman surga dengan hamparan ilmu, namun di lain sisi ia bisa menjadi neraka bagi kemunafikan, ketidakadilan, dan kebodohan.
Ada pepatah mengatakan "Buku adalah jendela Dunia" karena memang benar, banyak hal yang dapat kita ketahui lewat membaca. Dalam Agama Islam saja, Tuhan menurunkan ayat pertamanya yang berbunyi "Iqra" (Bacalah).
Tapi buku dengan pengetahuan di dalamnya tidak toh muncul begitu saja, ia muncul dari seorang penulis, entah dia beraliran kanan, tengah, atau kiri, dan entah dia seorang idealis ataupun materialis.
Penulis adalah manusia hampir abadi, karena ia bisa terus hidup berzaman-zaman, dan bisa diingat berabad-abad lewat karyanya. Pramoedya Ananta Toer pernah berkata bahwa "Menulis adalah bekerja untuk keabadian" dan keabadian itu terdokumentasi dalam sebuah buku.
Ketahanan pikiran yang terdokumentasi dalam buku ini membuat buku mendokumentasikan pula jalannya dialektika dunia, bagaimana jatuh bangunnya peradaban, bagaimana munculnya teknologi, bagaimana kehancuran sebuah Negara, semuanya hampir dapat terdokumentasikan.
Buku membantu manusia untuk belajar dan mengingat, karena manusia sejatinya tak dapat abadi, kapasitas memori otaknya pun terbatas. Lantas bencana akan tiba bila manusia tak kembali belajar dan tak kembali mengingat, dan itulah yang kadang diharapkan oleh penguasa.
Sekonyol, sebodoh, sepintar, bahkan sejenius apa pun yang manusia lakukan, pasti dimulai dengan proses berpikir.