Sukarno adalah sosok besar di Republik ini, seorang "Bapak Bangsa" yang andil dalam memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Namanya tak lekang oleh zaman, sosoknya menjadi panutan sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk para insan-insan politik tanah air.
Sejarah membuktikan bahwa Sukarno tak hanya seorang pemimpin, tapi ia juga seorang pemikir. Konsepnya mengenai pembebasan rakyat kecil yang ia sebut sebagai "Marhaen" dalam gagasan besarnya yakni Marhaenisme menjadi salah satu buah pikir Sukarno yang everlasting dalam gelanggang perkembangan politik di Tanah Air.
Namun, kebesaran seorang Sukarno nyatanya menjadi ancaman bagi kestabilan politik rezim Orde Baru. Sebuah rezim yang lahir dari tumpukan bangkai dan darah para loyalis Sukarno. Gejolak politik pasca tragedi Gerakan Satu Oktober (GESTOK) membuat arah politik Indonesia berubah hampir sepenuhnya. Peta politik yang diwarnai dengan gagasan progresif dan revolusioner disertai dengan simbol-simbol ala sosialis dibawah kepemimpinan Sukarno berubah menjadi suasana politik yang Fasis-Militeristik dibawah kepemimpinan Suharto yang dinamakan Orde Baru itu.
Sosok Sukarno adalah ancaman bagi transisi dan perubahan besar arah politik bangsa di era Orde Baru. Upaya ini menjadi gencar terjadi setelah Sukarno dilengserkan pada tahun 1966. Upaya yang dilakukan adalah dengan menyingkirkan para loyalis nya satu persatu, dan yang lebih parah ialah "membunuh" secara perlahan sosok Sukarno itu sendiri. Setelah turunnya Sukarno, ia dijadikan tahanan rumah dan tidak mendapatkan perlakuan yang pantas sebagai seorang mantan presiden dan proklamator. Obat-obatan dan akses terhadap dokter juga dibatasi, ini yang membuatnya seakan "dibunuh" secara perlahan oleh rezim Orde Baru.Â
Upaya pelengseran dan pengkerdilan sosok Sukarno juga dapat terlihat dari adanya TAP MPRS 33/1967 dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mencabut kekuasaan pemerintah dari Presiden Sukarno. Hal ini terjadi akibat ditolaknya pidato "Nawaksara" dan pidato pelengkap "Nawaksara", yakni pidato pertanggung jawaban Sukarno atas kejadian dan peristiwa G30S/GESTOK. Tentunya hal ini terjadi tak lain untuk memuluskan transisi pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Ketetapan ini memberi kesan bahwa Sukarno adalah Mastermind dibalik peristiwa yang dikenal sebagai G30S itu, bahwa Sukarno telah melindungi PKI. Padahal tuduhan tersebut tak pernah terbukti. Yang dapat terbuktikan adalah Sukarno menunggu kejelasan yang sejelas-jelasnya mengenai peristiwa tersebut. Bahkan Ia menyebut pimpinan-pimpinan PKI telah keblinger. Tentunya Ia tak segan untuk menyelesaikan permasalahan ini, namun yang paling penting, Ia menunggu penyelesaian politiknya terlebih dahulu, mengingat situasi Politik kala itu yang sangat tegang antara kelompok progresif dengan Militer dan kelompok kanan. Namun semua itu tak berarti, Sukarno adalah orang yang harus dan seharusnya disingkirkan oleh Orde Baru.
Tak berhenti disitu, upaya meredupkan kebesaran seorang Sukarno juga dilakukan dalam penulisan sejarah. Ini membuktikan kutipan "Sejarah ditulis oleh para pemenang" memang benar adanya. Perannya dalam perancangan dasar negara yakni Pancasila juga dikecilkan. Begitupun dengan upaya "membenturkan" sang dwitunggal: Sukarno dan Hatta dalam perjalanan sejarah bangsa. Sekali lagi, ini dilakukan untuk mempengaruhi massa rakyat untuk tak lagi mengenal sosok Sukarno sebagai tokoh besar.
Begitupun dalam kehidupan politik era Orde Baru, segala hal yang berbau Sukarno haruslah disingkirkan. Ini terlihat dari bagaimana upaya dalam menjegal PDI (Partai Demokrasi Indonesia) sebagai partai yang merupakan hasil fusi beberapa partai sekuler termasuk Partai Nasional Indonesia, partai yang didirikan Sukarno pada 1927. Utama kali saat sosok bernama Megawati Soekarnoputri yang merupakan anak Sukarno meraih popularitas kala ia bergabung dalam PDI di akhir 1980-an. Hal ini tentunya membuat penguasa khawatir. Hal ini terus berlanjut ketika Megawati terpilih menjadi Ketua Umum PDI pada tahun 1993, disitulah akhirnya lewat berbagai plot, seorang Mega berusaha didongkel dari kekuasaannya lewat Kongres di Medan yang memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI tandingan Mega. Puncaknya adalah peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang lebih sering dikenal sebagai KUDATULI, dimana kantor DPP PDI Mega diserang oleh kelompok Pro-Soerjadi dan akhirnya diambil alih. Hal ini tentunya memicu perlawanan, dan merupakan pemantik bagi berkobarnya perlawanan rakyat yang berujung pada Reformasi tahun 1998.Â
Reformasi tahun 1998 yang ditandai dengan mundurnya Soeharto, seharusnya menjadi "pisau Guillotine" untuk mengakhiri segala warisan Orde Baru. Nyatanya politik De-Sukarnoisasi ala Orde Baru ini masih saja hidup bersamaan dengan masih hidupnya para kroni-kroni Soeharto. Dalam beberapa tahun kebelakang belum ada upaya yang tegas dalam merehabilitasi nama besar Sukarno sebagai Bapak Bangsa.
Namun akhirnya angin segar mulai berhembus, pada tanggal 9 September 2024, Majelis Permusyawaratan Rakyat mencabut TAP MPRS 33/1967. Ini menjadi langkah baik dalam memulihkan nama besar seorang Sukarno. Sudah selayaknya seorang pemimpin besar sepertinya diberikan penghormatan setinggi-tingginya dan sebaik-baiknya. Karena bangsa yang besar tak melupakan jasa para pahlawannya.
Sekarang, tugas Angkatan Muda ialah mewarisi dan menjaga semangat revolusioner yang telah dinyalakan oleh para pendiri bangsa termasuk Sukarno. Merawat ingatan dengan mempelajari sejarah bangsanya adalah langkah awal dalam mengabdikan diri kepada kemajuan bangsa. Agar kita tak jatuh dilubang yang sama, agar kita tak mengalami kembali masa kelam bangsa kita.Â