“Menjadi muda, tetapi tidak revolusioner, itu seperti kontradiksi biologis.” ujar Salvador Allende mantan presiden Chile yang lahir dan mati sebagai seorang revolusioner. Mengapa saya memilih kutipan Salvador Allende ini sebagai pembuka? karena politik kepemudaan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan tradisi radikal-revolusioner yang intelek. Tradisi yang kian hari makin menumpul dari politik kepemudaan kita. Hal ini menjadi pertanyaan apakah kita akan menjadi generasi muda yang berdikari atas politik atau terus menerus didikte oleh kekuasaan?
Menurut data yang dilansir dari cnbcindonesia.com, pada tahun 2023 dari total jumlah penduduk mencapai 280 juta, 66,3 juta didominasi pemuda/pemudi usia 15–30 tahun. Dari data tersebut jumlah generasi muda seharusnya memiliki pengaruh sebagai kekuatan sosial-politik yang besar dengan suara yang besar pula. Belum lagi jika kita bicara soal apa yang dinamakan dengan bonus demografi dimana akan terjadinya lonjakan penduduk dengan usia produktif antara 15–64 tahun. Namun apalah artinya bonus demografi ini tanpa sebuah kesiapan baik lahir maupun batin, baik kesadaran sosial maupun kesadaran individu mengenai masa depan bangsa. Problem-problem kesehatan seperti stunting dan kesadaran yang rendah mengenai keadaan sosial-politik-ekonomi hanya akan membawa bonus demografi menjadi bencana demografi.
Keterlibatan pemuda dalam pusaran politik dapat kita lacak sejak periode pra-kemerdekaan Indonesia. Kita dapat melihat dari munculnya organisasi seperti Boedi Oetomo pada tahun 1908 sebagai tonggak kebangkitan nasional yang didirikan oleh Dr. Soetomo dan kawan-kawan yang saat itu masih berumur 20an tahun. Belum lagi kita melihat Sarekat Islam yang diisi oleh tokoh-tokoh muda seperti Sukarno, Semaoen, Darsono, Agus Salim, Kartosuwiryo, dan banyak tokoh muda lain. Bahkan ada sebuah partai yang dipimpin oleh seorang anak muda bernama Semaoen yang masih berusia belasan tahun, partai itu adalah PKH(Partai Komunis Hindia) yang kelak menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Jejak sejarah politik pemuda juga kita dapat lihat dengan berdirinya PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927 yang diprakarsai Sukarno, seorang pemuda revolusioner yang kelak menjadi presiden pertama Indonesia. Setahun setelah PNI dibentuk, tepatnya pada 28 Oktober 1928 yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda itu menjadi sebuah momen para pemuda dari segala penjuru Hindia Belanda mempersatukan diri dalam sebuah forum kongres dengan semangat kesatuan dan persatuan demi terciptanya kemerdekaan Nasional bagi bangsa Indonesia. Politik pemuda ini terus berlanjut hingga detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia, dimana pemuda memiliki peran aktif dalam mengamati, mempersiapkan, dan melakukan aksi dalam pusaran proklamasi kemerdekaan kita.
Sisi historis dalam gerak-gerik politik pemuda kita tentu tak bisa dipisahkan dengan tradisi intelektual dan tradisi radikal-revolusioner. Misalnya saja, seorang Tan Malaka yang notabene sebagai seorang ningrat di Sumatera Barat ini berani mengambil sikap melawan terhadap sistem kolonialisme belanda bahkan harus menjadi buron internasional. Walaupun dalam kondisi sebagai penentang pemerintah bahkan dikejar-kejar pula, ia tak meninggalkan tradisi intelektual dalam mengkonsep masa depan bangsanya. Di usia yang baru menginjak 28 tahun Tan Malaka menulis “Naar de Republiek Indonesia” (Menuju Republik Indonesia). Tradisi yang sama juga dilakukan oleh Sukarno, ia ditahan oleh pemerintah Kolonial akan tetapi dalam masa tahanannya ini ia berhasil membuat pledoi yang terkenal yakni "Indonesia Menggugat" dalam usia 29 tahun.
Dengan kenyataan sejarah politik kepemudaan ini bukan berarti kita harus terbuai dalam masa lalu, tapi justru menjadi pengingat bagi kita apakah tradisi yang sama dengan founding fathers kita telah diwarisi?
Gerakan reformasi tahun 1998 agaknya menjadi bukti bahwa sebenarnya kita mampu mewarisi tradisi itu. Munculnya gerakan dan aksi protes yang dipelopori pemuda membawa harapan cerah bagi rakyat dalam menghadapi situasi krisis moneter dan terus represifnya pemerintahan orde baru. Mungkin tanpa hadirnya pemuda sebagai pelopor, reformasi hanya sebatas lobby-lobby elite politik atas dasar konflik kepentingan atau bahkan reformasi tak akan pernah terjadi. Gerakan Mahasiswa saat itu tak hanya bermodalkan aksi, namun juga diisi dengan amunisi-amunisi pikiran dengan tradisi intelektual. Organisasi-organisasi kepemudaan dan Mahasiswa muncul sebagai garda terdepan menghadapi rezim orde baru, munculnya Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang didirikan aktivis muda juga menjadi penanda bahwa gerakan pemuda telah menjadi suatu kekuatan sosial politik yang kuat ditengah represi pemerintah. Walaupun pada akhirnya veteran gerakan ini banyak yang meninggalkan keyakinan mereka, dan justru menjelma menjadi kapitalis-birokrat yang mencederai nilai-nilai reformasi. Adanya fenomena ini seharusnya menjadi pengingat bahwa keyakinan terhadap cita-cita politik dan demokrasi harus tetap dirawat agar generasi selanjutnya dapat melanjutkan estafet perjuangan.
Kini di era serba digital dan cepat, tradisi intelektual yang radikal-revolusioner ini perlu dirawat sebagai api perjuangan yang tak boleh padam. Pada permasalahan yang aktual seperti UU Ciptaker, UU Omnibus law, sampai UU ITE yang bermasalah, ataupun kenaikan BBM yang terjadi beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa tingkat kesadaran kita sebagai generasi muda harus makin ditingkatkan dalam menyikapi problematika tersebut.
Saat ini kita menghadapi sebuah momentum besar yakni Pemilu 2024. Disinilah kepekaan terhadap problematika dan situasi politik kita menjadi terus diuji. Peran pemuda dalam politik tak hanya sebatas ruang diskusi dan demonstrasi tapi juga ikut dalam ruang-ruang politik baik eksekutif maupun legislatif, namun diiringi dengan semangat idealisme yang tinggi dan menolak untuk didikte orang lain. Tak ada yang salah bagi pemuda untuk menjadi politisi, karena untuk menjadi “manusia politik” yang seutuhnya adalah memiliki akses dan otoritas untuk mengeksekusi atau merancang kebijakan yang pro-rakyat. Pemuda juga tak boleh terjebak dan hanya menjadi komoditas politik agar parpol-parpol mudah menggaet kita hanya untuk kepentingan elektoral saja.
Hadirnya pemuda dalam ruang-ruang politik harus melalui sebuah proses agar muncul keyakinan ideologis yang mantap. Sayangnya kita menghadapi realitas bahwa kehadiran pemuda dalam politik dibumbui oleh budaya nepotisme. Bahkan harus melewati suatu proses menjijikan dengan menggunakan alat kekuasaan untuk meloloskan seseorang demi kepentingan politik. Adanya kisruh mengenai keputusan Mahkamah Konsitusi lalu yang katanya berpihak kepada kaum muda hanyalah kedok demi kepentingan politik semata. Budaya ala Orde baru yang terjadi ini membuka mata kita bahwa kehadiran pemuda dalam menyikapi permasalahan sosial-politik menjadi sangat urgensi. Siapapun itu, entah anak Politisi, anak pejabat, atau anak Presiden sekalipun jika melewati proses yang mencederai demokrasi dan nir-etika, kita lawan!