Dalam Pidato Kenegaraan pada hari Rabu (16/08) di Sidang Paripurna DPR RI, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa melalui RAPBN 2024, pemerintah mengusulkan perbaikan penghasilan berupa kenaikan gaji untuk ASN Pusat dan Daerah/TNI/Polri. Kenaikan gaji sebesar 8 persen tersebut diharapkan akan meningkatkan kinerja aparat pemerintahan serta mengakselerasi transformasi ekonomi dan pembangunan nasional. Presiden menginginkan bahwa agar pelaksanaan transformasi ekonomi berjalan efektif, maka reformasi birokrasi harus terus diperkuat, sehingga dapat mewujudkan birokrasi pusat dan daerah yang efisien, kompeten, profesional, dan berintegritas.
Bagi ASN Pusat dan Daerah/TNI/Polri, kabar kenaikan gaji tentu merupakan hal yang sangat dinanti setelah terakhir kali pemerintah menaikkan besaran gaji pokok pada tahun 2019. Setelahnya, pemerintah tidak lagi menaikkan gaji ASN mengingat kondisi fiskal negara masih dalam tahap pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Di balik sebuah kebijakan pemerintah pasti di situ ada risiko yang mungkin bisa terjadi. Dalam hal ini yang dikhawatirkan muncul setelah pengumuman usulan kenaikan gaji ASN adalah meningkatnya inflasi.
Inflasi adalah kenaikan harga-harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Inflasi yang disebabkan oleh tekanan dari sisi penawaran atau peningkatan biaya produksi disebut dengan cost push inflation. Inflasi yang disebabkan oleh tekanan dari sisi permintaan atau meningkatnya permintaan barang dan jasa disebut dengan demand pull inflation. Selain inflasi yang murni disebabkan oleh faktor biaya dan jumlah permintaan, inflasi juga bisa dipengaruhi oleh persepsi dan harapan masyarakat serta pelaku ekonomi terhadap tingkat inflasi di masa depan. Kondisi seperti ini disebut dengan ekspektasi inflasi.
Inflasi bagi perekonomian, sama seperti lemak dalam darah, ada yang menguntungkan dan ada juga yang merugikan. Inflasi menjadi 'merugikan' bila kondisinya terlalu tinggi, sehingga mengganggu pertumbuhan ekonomi, sementara inflasi yang 'menguntungkan' ada pada tingkat tertentu yang diperlukan untuk menggerakkan perekonomian. Inflasi tinggi menghambat pergerakan ekonomi karena harga barang dan jasa melebihi daya beli masyarakat, sementara inflasi yang terlalu rendah tidak menarik bagi pengusaha untuk berbisnis karena tidak menjanjikan keuntungan yang optimal. Inflasi yang baik adalah inflasi yang moderat, yang sedang-sedang saja, yang bisa diterima oleh para pelaku ekonomi.
Di Indonesia, inflasi kadang berupa cost push inflation, namun lebih sering juga berupa demand pull inflation. Sebagai contoh, inflasi pada masa perayaan Lebaran dan Natal/Tahun Baru lebih didorong oleh kenaikan permintaan oleh masyarakat. Contoh lainnya adalah inflasi periode Agustus sampai Desember 2020 mengalami kenaikan secara kontinyu dikarenakan masyarakat sudah mulai melonggarkan aktivitas selama pandemi sehingga meningkatkan permintaan barang dan jasa. Dua kondisi tersebut merupakan contoh dari demand pull inflation. Sedangkan cost push inflation yang paling sering terjadi di Indonesia adalah inflasi yang terjadi setelah kenaikan harga BBM. Sebagai contoh inflasi pada September 2022 yang sebesar 5,95 persen (y-o-y), menjadi rekor tertinggi dalam kurun waktu 7 tahun terakhir.
Beberapa ekonom menyatakan bahwa inflasi akan meningkat dengan adanya dengan kenaikan gaji ASN, akan tetapi peningkatan tersebut tidak akan signifikan karena cenderung didorong oleh ekspektasi inflasi. Sebagian pelaku ekonomi ada yang berasumsi bahwa dengan kenaikan pendapatan, maka ASN akan menaikkan belanja atau pengeluarannya. Dari kenaikan pengeluaran tersebut, maka diproyeksikan ada kenaikan jumlah permintaan yang selanjutnya oleh pelaku pasar situasi itu direspon dengan menaikkan harga.Â
Logika ekonomi seperti ini dalam taraf tertentu ada benarnya, namun kenaikan gaji ASN yang masih dalam kisaran persentase satu digit dinilai tidak akan terlalu berdampak sebagaimana pengaruh kenaikan harga energi (BBM/LPG) atau seperti kondisi pada periode hari raya Lebaran. Kondisi tersebut juga dinilai hanya akan bersifat temporer dengan kemungkinan hanya terasa pada 1-2 bulan pertama kenaikan, setelah itu inflasi akan kembali normal.
Berkaca pada kenaikan gaji ASN pada tahun 2019, data inflasi bulanan dari BPS menunjukkan bahwa kenaikan inflasi hanya terjadi saat bulan berkenaan dan dalam angka yang relatif kecil. Inflasi justru meningkat di setiap periode hari raya Lebaran kecuali pada tahun 2020 (awal pandemi Covid-19). Inflasi juga meningkat tajam pada saat pemerintah memberlakukan tarif PPN 11 persen mulai April 2022 dan pada saat penyesuaian harga BBM September 2022.Â
Pergerakan inflasi yang bisa didorong oleh dua macam situasi (cost push dan demand pull) merupakan salah satu indikasi bahwa aktivitas ekonomi di Indonesia cukup dinamis namun terkendali. Oleh karena itu, meskipun pemerintah mengumumkan kenaikan gaji ASN pada tahun ini, tingkat inflasi diyakini banyak pihak tidak akan terlalu terpengaruh ke depannya.
Upaya pengendalian inflasi secara berkesinambungan terus dilakukan oleh pemerintah dari sisi fiskal dan oleh Bank Indonesia selaku pemegang otoritas moneter melalui wadah tim pengendali inflasi. Tim tersebut senantiasa melakukan monitoring dan analisis pergerakan harga di pasar, serta berbagai langkah preventif dan korektif guna menjaga agar inflasi selalu berada pada tingkat yang 'menguntungkan' yaitu 3 persen dengan toleransi kenaikan dan penurunan sebesar 1 persen, sebagaimana target dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal.Â
Dengan upaya pengendalian inflasi secara kolaboratif diharapkan pertumbuhan ekonomi yang positif terus terjaga dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.