Mohon tunggu...
Aditya Wira Santika
Aditya Wira Santika Mohon Tunggu... -

full time wanderer.

Selanjutnya

Tutup

Politik

MENGENAL SISTEM PETRODOLLAR

27 Oktober 2014   16:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:34 3870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Meninggalnya CEO Total, Christophe de Margerie akibat kecelakaan pesawat (20/10) tak hanya mengguncang dunia migas internasional, namun juga berhasil mempopulerkan kembali istilah Petrodollar. Apa sebenarnya Petrodollar itu?

Sejumlah media internasional (dan pecinta teori konsipirasi) mengaitkan kecelakaan jet pribadi de Margerie dengan sikapnya yang kontra terhadap sistem Petrodollar, yaitu skema transaksi minyak yang mewajibkan transaksi dilakukan mata uang Dollar AS. Sebelumnya, de Margerie secara terbuka menginginkan agar transaksi migas bisa dilakukan dengan mata uang Euro. “Nothing prevents anyone from paying for oil in Euro,” tutur de Margerie sebagaimana dilansir Bloomberg (05/07).

Istilah Petrodollar mulai popular sejak decade 70-an, meskipun sebenarnya Dollar Amerika sudah digunakan sebagai alat transaksi minyak jauh sejak tahun 1940-an atau paska Perang Dunia II. Tingginya impor minyak Amerika pada saat itu membuat negara eksportir minyak menerima pembayaran transaksi menggunakan mata uang Dollar Amerika. Namun penggunaan Dollar Amerika masih terbatas antara AS dengan negara eksportir saja.

Skema Petrodollar meluas ketika pada tahun 1973, Presiden Amerika Richard B. Nixon melakukan negosiasi dengan Arab Saudi sebagai produsen minyak terbesar di dunia. Proposal Nixon pada intinya meminta Arab Saudi untuk mewajibkan jual-beli minyak antara Saudi dengan negara importir dilakukan dengan Dollar Amerika. Sebagai gantinya, Amerika menawarkan perlindungan keamanan bagi Saudi melalui penyediaan militer dan senjata. Pada saat itu, kawasan timur tengah memang tengah panas akibat gesekan-gesekan antara Mesir, Israel dan Syria (yang berujung pada Perang Yom Kippur 1973).

Di sisi lain, negosiasi yang dilakukan Nixon bukan tanpa sebab. Tahun 1971 Nixon baru saja membuat kebijakan “closing the gold window” di mana nilai Dollar AS tidak lagi divaluasi berdasarkan nilai tukar Dollar Amerika terhadap emas yang mengakibatkan Dollar tidak dapat dipertukarkan dengan emas maupun logam mulia lain milik pemerintah Amerika. Sebagaimana ditulis Morgan Downey dalam Oil 101, “The purchasing power of the US Dollar, which was and is the default currency for oil transactions, declined rapidly”. Pada 15 Agustus 1971 Nixon menyatakan “we will press for the necessary reforms to set up an urgently needed new international monetary system”. Dari sinilah inisiasi Petrodollar dimulai.

Dengan pertukaran kepentingan Amerika-Saudi, proposal Petrodollar akhirnya disetujui. Pada tahun 1974 Petrodollar berlaku penuh di Saudi dan tahun 1975, negara-negara OPEC mengikuti. Mulai saat itu negara importir minyak mulai harus berburu Dollar Amerika guna membeli minyak dari negara eksportir. Dengan permintaan yang meningkat, nilai Dollar Amerika yang sempat menurun akibat kebijakan Nixon berangsur pulih.

Dollar Amerika pun menjadi mata uang yang valuasinya bergantung pada supply-demand minyak dunia. Maka semakin banyak transaksi minyak terjadi antar negara OPEC dan importir, semakin kokoh pula posisi Dollar Amerika sebagai mata uang dunia. Hingga kini kita masih bisa melihat korelasi “supplementary good” antara harga minyak dengan Dollar AS, yaitu ketika harga minyak meningkat, maka nilai tukar Dollar Amerika cenderung melemah (karena menurunnya permintaan) dan sebaliknya.

Penulis buku Bankruptcy of Our Nation, Jerry Robinson menyatakan bahwa Petrodollar juga menguntungkan Amerika dalam hal impor minyak. AS dapat membeli minyak dengan harga yang lebih murah karena tak perlu ada biaya konversi mata uang yang perlu dibayarkan. “With oil priced in U.S. dollars, America can literally print money to buy oil,” pungkasnya.

Dampak Bagi Indonesia

Bagi negara pengimpor minyak seperti Indonesia, skema Petrodollar tentunya berdampak sangat signifikan terhadap kelancaran penyediaan energi. Sebagai gambaran, impor Premium nasional (Nov 2012) mencapai 11,6 juta barel atau rata-rata 1,84 juta barel per bulan. Dengan perhitungan harga minyak dunia berada di kisaran US$100 per barel, maka dibutuhkan valas kira-kira US$184 juta per bulan.

Dapat dibayangkan bila nilai tukar rupiah melemah, maka akan semakin banyak Dollar Amerika yang dibutuhkan untuk melakukan transaksi. Apabila bank sentral maupun bank BUMN/Swasta di Indonesia tak dapat memenuhi kebutuhan valas tersebut, maka dikhawatirkan pemenuhan kebutuhan BBM dalam negeri akan terhambat.

Masa Depan Petrodollar

Kini setelah diterapkan selama lebih dari 30 tahun, banyak analis menduga kejayaan Petrodollar mulai pudar. Pasalnya banyak pihak (seperti de Margerie) yang mulai secara terbuka menentang system tersebut. Negara-negara importir/eksportir minyak yang tak terimbas perjanjian Petrodollar seperti Brazil, Russia, India dan China pun mulai merundingkan transaksi minyak dengan menggunakan mata uang lain seperti Euro (Petroeuro) atau bahkan mata uang mereka sendiri.

Nasib Petrodollar memang masih penuh tanda tanya. Namun kejatuhan rezim Petrodollar bukanlah suatu keniscayaan sebagaimana gold window pernah berjaya dan tumbang. Bisa jadi, apa yang terjadi di dunia ini hanyalah sejarah yang terus berulang.

http://www.bloomberg.com/news/2014-07-05/total-s-de-margerie-sees-no-need-for-dollars-in-oil-purchases.html

http://ftmdaily.com/preparing-for-the-collapse-of-the-petrodollar-part-2/

http://www.forbes.com/sites/ralphbenko/2014/08/18/pat-buchanan-ignores-the-underlying-reason-richard-nixon-was-forced-to-resign/

http://www.caseyresearch.com/cdd/demise-petrodollar

http://ftmdaily.com/preparing-for-the-collapse-of-the-petrodollar-part-2/

http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2013/01/17/2/123642/Pertamina-Minta-Bank-Sentral-Sediakan-Valas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun