Pepatah jawa kuno yang kerap kali terdengar di semua kalangan di Indonesia. Sebuah jargon yang dipegang erat oleh kebanyakan keturunan Jawa. Ya, mangan ora mangan penting kumpul. Makan tidak makan, asal bisa kumpul. Sebuah pepatah yang mengibaratkan pentingnya persaudaraan dan silaturahmi ketimbang harta dan kekayaan.
Saat ini, masihkah pepatah tersebut diterapkan dalam kehidupan nyata? Dan kalaupun masih diterapkan, masih relevan juga kah?
Kenyataannya, saat ini tidak lagi banyak ditemukan perilaku yang menyiratkan berlakunya pepatah itu. Bahkan pada sebagian orang Jawa sendiri. Ada beberapa hal yang menunjukkan lunturnya pepatah kuno itu. Salah satunya budaya merantau.
Kalau memang orang masih memegang erat pepatah itu, mestinya ibukota tak semakin padat setiap harinya. Mestinya setiap pasca lebaran, tidak banyak pendatang baru di ibukota. Namun pada kenyataannya, tetap saja setiap lebaran usai dan setelah musim kelulusan sekolah menengah, ibukota selalu mengalami penambahan penduduk. Alasannya begitu klasik dan sederhana, mengadu nasib. tentu, hijrah para penduduk ke ibukota beralasan untuk mencukupi nafkah, meski pada kenyataannya belum tentu terwujud juga cita-cita agungya. Ini adalah sebuah gambaran sederhana lunturnya wejangan "mangan ora mangan kumpul", dimana setiap personal sudah lebih mementingkan kesejahteraan pribadi ketimbang bertahan bersama sanak kerabat di kampung.
Berikutnya, lebih tampak jelas pada perilaku wakil rakyat di negeri ini. Bukannya mementingkan silaturahmi pada rakyat yang diwakili, justru dengan gencar memenuhi hasrat bergelimang harta. Padahal, banyak juga wakil rakyat yang berasal dari Jawa. Mestinya, kalau memang masih menjunjung wejangan kuno "mangan ora mangan kumpul" tidak akan terjadi perilaku-perilaku demikian. Lha wong dari pepatah tadi sudah jelas bahwa kebutuhan akan harta bukan sesuatu yang kepentingannya di atas silaturahmi.
Namun memang, ketika mulai menilai relevansi pepatah kuno tadi dengan keadaan sekarang, tentu tidak sepenuhnya relevan. Jelas saja, saat ini persaingan semakin ketat, lapangan pekerjaan terbilang sempit, kesejahteraan masyarakat semakin mendekati garis kemiskinan, tentu menjadi penghalang utama untuk mengembangkan budaya "mangan ora mangan kumpul".
Di daerah, lapangan pekerjaan sangat minim. Ditambah lagi tingkat pendidikan masyarakatnya tidak begitu tinggi, ketrampilan yang juga minim, serta arus informasi yang tak sederas di kota. Bagaimana bisa hal yang demikian mendorong masyarakat di daerah untuk tidak merantau? Dan lagi, pepatah "mangan ora mangan kumpul" juga mempersyaratkan adanya satu pihak yang dapat membantu dalam segi finansial. Bayangkan saja, sejuta fakir berkumpul tanpa ada pekerjaan apapun, tanpa keahlian apapun, dan tanpa seorangpun yang menyantuni.
Yah, itulah sekelumit tentang "mangan ora mangan kumpul" di masa ini. Andai bertemu keruwetan dalam tulisan ini, maka anda telah menemukan ilustrasi keruwetan yang sedang terjadi di negara ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H