Indonesia yang telah merdeka selama 71 tahun masih berjibaku dengan sejumlah permasalahan, salah satunya adalah dibidang pendidikan. Pendidikan menjadi salah satu prioritas bagi tujuan negeri ini, karena tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai tujuan nasional Indonesia. Berbicara pendidikan maka tak lepas dari sosok guru, menurut UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2005 Guru ialah seorang pendidik profesional dengan tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini melalui jalur formal pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Guru memegang peranan strategis dalam upaya membentuk watak bangsa ini melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan (Ali Mudlofir 2012:62). Dari dimensi tersebut sosok guru sulit digantikan oleh orang lain. Sedangkan dari dimensi pembelajaran, peranan guru dalam masyarakat tetap dominan meski tekonologi yang digunakan untuk proses belajar mengajar berkembang pesat.
Saat ini kita sedang berada di pusaran hegemoni media, revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEKk) yang tidak hanya mampu menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyamanan bagi manusia modern, tetapi juga menghadirkan sejumlah persoalan dan keresahan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mengurangi bahkan menghilangkan nilai kemanusiaan atau yang disebut dehumanisasi (Syamsul Kurniawan 2016:17).
Thomas lickona mengungkapkan sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai, karena jika tanda-tanda ini terdapat dalam suatu bangsa, berarti bangsa tersebut sedang di tebing jurang kehancuran. Tanda-tanda tersebut diantaranya pertama, meningkatnya kekerasan dikalangan remaja. Kedua, penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk. Ketiga, pengaruh peergroup yang kuat dalam tindak kekerasan. Keempat, meningkatnya perilaku yang merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan perilaku seks bebas. Kelima, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk. Keenam, menurunnya etos kerja. Ketujuh, semakin rendahnya rasa hormat pada orang tua dan guru. Kedelapan, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara. Kesembilan, membudayanya ketidakjujuran dan kesepuluh adanya saling curiga dan kebencian diantara sesama.
Kasus diatas tentu membuka mata kita bahwa di negeri ini sedang terjadi kemerosotan moral, dan membuat kita sadar bahwa ada kegagalan pendidikan yang diterapkan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam hal menumbuhkan remaja dan anak-anak ynag berakhlak mulia. Lalu bagaimana kita mampu mengatasi permasalahan kemerosotan moral ini? Cara nya ialah dengan pendidikan karakter dilingkungan keluarga. Mengapa keluarga? Karena keluarga mempunya fungsi pendidikan, yang mana keluarga ialah lembaga terkecil dalam sebuah masyarakat dan awal dari seorang individu mendapatkan sosialisasi sebelum mengenal lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah.
Berangkat dari kalimat tersebut yang namanya pendidikan memanglah keras. Keras dalam arti membentuk anak menjadi individu yang tangguh, dan tidak mudah mengeluh pada kehidupan. Pendidikan yang diterapkan dulu dengan saat ini berbeda, dulu pendidikan dimaksud mendidik manusia agar tumbuh mempunyai akhlak yang baik, mengajarkan budi pekerti, etika, mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi. Ketika murid terlambat, tidak membuat PR, dan berbuat kesalahan lainnya, murid tak jarang dipukul menggunakan rotan, tetapi pendidikan saat dulu menghasilkan generasi-generasi yang cerdas dengan adanya pendidikan keras tersebut.
Namun sekarang ini pendidikan lebih berorientasi kepada bagaimana menonjolkan siswa atau muridnya dari segi kecerdasan dan memandang karakter dan moral siswa tidak begitu penting. Sekolah-sekolah berlomba menerapkan kurikulum demi menghasilkan generasi-generasi yang cerdas. Pendidikan ini telah kehilangan misi utamanya ditambah dengan adanya UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 20014 PASAL 15, setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
- Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
- Perlibatan dalam sengketa bersenjata;
- Perlibatan dalam kerusuhan sosial;
- Perlibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;
- Perlibatan dalam peperangan, dan
- Kejahatan seksual.
UU tersebut seolah memanjakan siswa dan memberikan mereka kekebalan terhadap hukuman yang diberikan oleh guru ketika mereka melakuka kesalahan dan memerlukan hukuman untuk memberikan efek jera terhadap siswa. Lihat hasilnya, siswa semakin tidak sopan terhadap guru dan para siswa bermental tempe, apabila diberi tugas oleh guru sedikit lebih sulit para siswa mengeluh.