Mohon tunggu...
Aditya
Aditya Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Sosiologi

Mengharap semua orang senang dengan pikiranmu adalah utopis. Keberagaman pikiran adalah keniscayaan yang indah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terwakilkan

16 Januari 2019   12:37 Diperbarui: 10 Juli 2019   21:10 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat senja kembali pulang dan malam memeluk dengan tenang, kita kembali dipertemukan lewat pesan-pesan yang saling kita kirimkan, ibu jari merangkai kata demi kata agar tersampaikan dengan indah, sebab hati perlu perantara untuk menuliskan sabdanya. Sering senyum kecil tergores di wajah ketika membaca pesan yang kuterima darimu.        

Malam menjadi ajang balas dendam bagi rindu, ucapan "aku rindu padamu" sering menjadi peredam hati yang terjarakkan oleh waktu, candaan-candaan kecil diujung layar menjadi pengobat hati paling mujarap yang tengah diinveksi oleh rindu, ketika raga kita belum mampu untuk bertemu.

Kadang aku juga dirasuki rasa cemburu, yah aku cemburu. Cemburu pada semilir angin senja yang menyentuh lembut senyummu. Disaat sebab senyummu adalah bukan diriku, saat pemantik bahagiamu bukan aku, aku tak bisa tersenyum. Lucu bukan, aku yang bukan siapa-siapanya kamu punya rasa itu.

Adakah perasaan yang ingin kamu utarakan? jika ada, sampaikan. Bila tak mampu, tuliskan. -Aditya

Bisikan-bisikan nakal angin sore begitu menyayat hati, tentang kamu yang bahagia karena dia disana, tentang dia yang mampu membuat hatimu nyaman, tentang dia yang mampu memberikan perhatian.

Tentang kedekatan-kedakatan kalian yang membuat stigma pada rerumputan yang bergoyang. Yah dia, kurasa dia memang punya waktu lebih untuk memperhatikanmu, mengingatkan kamu untuk makan, mengingatkan kamu untuk hal-hal yang tak mampu aku ingatkan.

Sedangkan aku, aku yang sedang berada 200 km darimu hanya bisa bercerita di sepertiga malam akhir Nya, mengeluarkan seluruh kegundahan di dalam hati.

Pagi hadir lagi, hangatnya mentari menandakan bermulanya kembali hari. Coba menyemangati diri untuk mengarungi hari ini, yang sebenarnya cukup berat dilakoni. Tapi waktu tak akan menungguku hingga aku siap, aku yang harus tegar dan semangat melangkah hari ini.

Entahlah, hati memang sulit untuk di pahami, ia selalu punya pendiriannya sendiri. Sedangkan pikiran ia selalu bertindak secara hati-hati, agar tak kembali tersakiti.

Mereka kerap bertengkar untuk memutuskan perihal mempertahankanmu atau tidak. Dan aku yang dibuat pusing oleh pertengkaran mereka dan hanya bisa mendengarkan perdebatan-perdebatan hebat hati dan pikiranku yang membuat malamku menjadi begitu sangat panjang dan gelisah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun